"Sampoer Merah" adalah nama koran yang baru saja muncul pada Oktober 2016, tetapi koran itu tak seperti koran lain yang berusaha menghadirkan informasi teraktual, berita yang dimuat justru datang dari masa lalu.

Tak tanggung-tanggung ejaan yang digunakan adalah ejaan Ophuijesen (ejaan yang lazim digunakan saat masa prakemerdekaan atau Indonesia masih Hindia Belanda). Selain itu, tata bahasanya juga disesuaikan pada masanya sehingga tidak jarang orang bingung membaca surat kabar tersebut.

Pria asal Bandung, Gatot Gunawan menjadi salah satu penanggung jawab redaksi yang mempunyai jargon "Courant Rajat Oentoek Menginget Peristiwa Masa Lampaoe" tersebut.

Koran yang terbit sebulan sekali itu, menuliskan kembali peristiwa masa lalu yang jarang dituliskan di buku umum ataupun buku pelajaran, berita-berita yang dimuat kebanyakan dikutip dari koran atau majalah lama.

"Kalau sumbernya kita mengutip dari buku lama, koran lama, dan juga wawancara ke sumbernya, baik itu pelaku sejarah atau keturunannya," kata dia.

Meski demikian, Sampoer Merah tidak melulu memuat artikel dari masa lalu, beberapa di antaranya ada juga dari masa kini yang masih relevan dengan peristiwa lampau.

"Saat ini kami banyak mengambil peristiwa dari tahun 1930-an sampai 1970-an karena referensi kita punya kebanyakan dari era itu. Buku, majalah dan koran lama itu kita cari di toko rongsokan atau hibah dari ahli waris pelaku sejarah," jelas dia.

Koran "Medan Prijai", mingguan "Srikandi", harian "Fikiran Rajat" hingga media milik partai Masyumi yaitu "Hikmah" menjadi referensi mereka.

Gatot mengaku dari media tersebut belajar ejaan Ophuijesen dan menulis kalimat menggunakan tata bahasa yang lazim pada masa itu.

"Belajarnya otodidak aja, dari baca-baca buku lama seperti buku Cerita Hindustan karya Agus Salim. Memang untuk menuliskan kalimat dalam tata bahasa dulu agak sulit karena tulisannya banyak pengulangan dan tidak gramatikal. Bahasanya pun campur-campur, bisa jadi dalam satu kalimat ada bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Belanda juga Inggris," kata dia.

Selain berita "Sampoer Merah" memberikan satu halaman penuh untuk rubrik khusus seni.

"Rubrik seni isinya macam-macam, ada puisi, lirik lagu sampai resep makanan. Semuanya juga kita kutip dari buku lama. Misalnya puisi Asmara Hadi di edisi kedua koran ini, kami mengutip dari koran Fikiran Ra'jat. Setelah terbit kami baru tahu ternyata banyak juga puisi Asmara Hadi yang tidak dipublikasikan. Rencananya ke depan puisi-puisi tersebut akan kita terbitkan," kata dia.

"Sampoer" adalah selendang yang biasa digunakan pada tarian Tayub (tarian bangsawan Jawa), pada tarian itu penari akan mengalungkan selendang kepada tamu, kemudian tamu tersebut harus ikut menari.

"Selendang menjadi simbol bagi anak muda untuk menjalankan tugas menyebar sejarah yang dikalungkan oleh para pendahulu. Sementara kata "Merah" menggambarkan semangat yang menggelora. Inspirasi membuat koran ini dari "Courant Medan Prijai" yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo dan menjadi cikal bakal pers pribumi pertama, apalagi Bandung juga sebagai lahirnya pers di Indonesia maka kami ingin generasi muda tahu dan memahaminya," kata Gatot.

Waktu terbit koran tersebut, disesuaikan pada pada peristiwa penting yang terjadi saat itu, seperti pada edisi pertama berisi memoar tentang Letnan Jenderal K.K.O Hartono (Panglima Korps Komando Operasi 1961-1968), lengkap dengan wawancara bersama istri almarhum Grace Hartono dan juga foto-fotonya terbit pada 1 Oktober, disesuaikan denga hari lahirnya Letjen K.K.O Hartono.

Kemudian pada edisi kedua terbit pada 10 Nopember untuk mengenang satu tahun meninggalnya GRAj Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Kusumawardhani yang berpulang pada tanggal yang sama setahun sebelumnya, dan pada edisi ketiga terbit pada 22 Desember tepat saat Ir. Sukarno dijatuhi hukuman empat tahun penjara di Sukamiskin oleh kolonial Belanda karena pergerakan nasional.

Gatot mengatakan koran delapan halaman tesebut setiap bulannya diproduksi sebanyak 500 eksemplar dan dijual seharga Rp2.500 per edisi.

"Sebenarnya sih, awalnya koran ini hanya empat halaman dengan ukuran lebih besar seperti koran dulu, namun waktu ke percetakan ternyata biayanya sangat mahal, untuk itu kami perkecil ukurannya sehingga artikelnya dimuat dalam delapan halaman," kata dia.

Selain dapat membeli langsung ke Gatot, pembeli dapat menemukan "Sampoer Merah" di kios penjual koran yang ada di Alun-alun kota Bandung.

Peredaran koran tersebut memang masih seputar Kota Bandung, tetapi Gatot mengaku sudah banyak pesanan dari luar Bandung.

"Ada juga yang memesan dari luar kota, tempo hari ada pesanan dari Jakarta sampai 10 eksemplar," kata Gatot.

Khusus bagi pembeli dari luar kota, redaksi "Sampoer Merah" menyediakan pilihan edisi kusus yang dicetak pada kertas berwarna kuning gading dengan bercak agar kesan antiknya lebih terasa, dan dengan bahan kertas yang lebih berkualitas agar tahan lama.

Pihak redaksi pun menerima jasa iklan yang tentunya dimodifikasi menjadi reklame jaman dulu.

"Iya ada iklan kecil-kecilan. Pengiklannya juga masih kerabat, tetapi enggak selalu memuat iklan sih. Misalnya Desember lalu Fidel Castro meninggal, kami juga memuat ucapan belasungkawa untuk Fidel Castro. Maka itu, kita akan memotong ruang iklan agar dapat memuat belasungkawa tersebut," kata dia. 

Oleh Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017