Surabaya (ANTARA News) - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Jawa Timur (Jatim), KHM Nuruddin A. Rahman SH, meminta pemerintah sebaiknya menyita aset PT Lapindo Brantas Inc., bila dalam setahun ingkar membayar ganti rugi kepada warga yang menjadi korban luapan lumpur dari proyeknya. "Itu sesuai kesepakatan Lapindo dengan pemerintah untuk membayar ganti rugi secara profesional, dan asetnya siap disita sebagai jaminan," ujarnya kepada ANTARA News di Surabaya, Kamis. Usai berbicara dalam diskusi "Peran Ideal DPD RI Dalam Sistem Ketatanegaraan RI" di Universitas Surabaya (Ubaya), ia menjelaskan, penyitaan aset itu dilakukan bila setahun tidak membayar sejak awal Maret 2007. "Kami juga sudah mendorong terbentuknya Pansus Lumpur Lapindo. Hasilnya, pelaksanaan ganti rugi secara 'cash and carry' harus dapat dipertanggungjawabkan," ujar salah seorang Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim itu. Oleh karena itu, katanya, akhirnya dibentuk tim verifikasi untuk mengurus ganti rugi secara profesional yang bertugas mendata tanah, rumah, atau aset milik korban lumpur Lapindo. Namun, katanya, tim verifikasi hingga kini masih mendata rumah dan lahan milik korban Lumpur Lapindo sebanyak 100-an orang lebih, sedangkan korban Lumpur Lapindo yang harus didata asetnya mencapai 1.000-an. "Padahal, kami sudah melakukan dengar pendapat dengan BPN Pusat dan Bank Indonesia yang semuanya menjamin untuk pembayaran ganti rugi itu secara mudah, karena tim verifikasi harus diefektifkan," paparnya. Secara terpisah, anggota DPD RI asal Jatim lainnya, KHA Mudjib Imron, menegaskan bahwa lambatnya pembayaran ganti rugi bagi korban lumpur Lapindo sebenarnya akibat pemerintah lebih memihak Lapindo. "Itu terlihat dari Perpres 14/2007 yang tak mengatur tugas BPLSuntuk mengontrol tim verifikasi, termasuk bila tim verifikasi lambat dalam pembayaran ganti rugi korban lumpur," ucapnya. BPLS adalah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang dibentuk oleh Presiden RI. Menurut senator dari Pasuruan itu, pasal 15 dalam Perpres juga memberi payung hukum kepada Lapindo untuk melakukan pembayaran secara cicilan 20 persen, sehingga tuntut "cash and carry" akan semakin sulit terwujud. "Karena itu, kami akan mendesak pemerintah untuk meninjau ulang Perpres tersebut, agar ada jaminan dari Lapindo untuk memenuhi 'cash and carry', dan sanksi untuk keterlambatan juga dipertegas," katanya menambahkan. Musibah luapan lumpur dari proyek PT Lapindo Brantas Inc. di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jatim, mulai 29 Mei 2006 dan secara perlahan menggenangi pemukiman penduduk dan fasilitas umum, antara lain jalan tol dan rel Kereta Api (KA), serta jaringan telekomunikasi. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007