Jakarta (ANTARA News) - Terpidana kasus korupsi proyek Export Oriented (Exor) I Pertamina Balongan, Tabrani Ismail, mengaku hanya menjalankan perintah Dewan Komisaris Pertamina yang dijabat oleh Menteri Energi dan Pertambangan (Mentamben) saat itu, Ginandjar Kartasasmita. Usai sidang permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Tabrani di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis, ia menuturkan, Ginandjar pada 10 Agustus 1989 mengeluarkan surat kepada Direktur Utama Pertamina saat itu, Faisal Daud, yang didisposisinya kepada dirinya. Surat itu, menurut Tabrani, memberikan persetujuan untuk melaksanakan proyek Exor Balongan tanpa tender serta mendukung upaya penyesuaian Pertamina untuk harga estimasi. "Kalau Dewan Komisaris sudah beri petunjuk kepada Pertamina. Itu namanya perintah. Lalu Dirutnya perintahkan saya untuk laksanakan. Kalau kebijakan itu salah, maka yang disalahkan itu adalah yang beri perintah, kan ada surat petunjuknya," tuturnya. Selaku Direktur Pengolahan, lanjut Tabrani, dia hanya menjalankan perintah berdasarkan surat Ginandjar tersebut. "Dalam negosiasi, saya ikuti peraturannya. Saya jalankan perintah dari rekomendasi untuk tidak tender. Juga ada persetujuan dari Mentamben saat itu, Ginandjar Kartasasmita, yang berikan petunjuk," katanya. Tabrani juga membantah bahwa proyek Exor I Balongan melibatkan uang pemerintah. Menurut dia, dana pembangunan proyek itu didapatkan dari Java Investment Company (Javic) yang dibentuk oleh enam perusahaan Jepang, di antaranya Mitsui dan Marubeni, khusus untuk membiayai proyek Exor Balongan. Menurut Tabrani, pendanaan proyek itu sama sekali tidak menggunakan jaminan pemerintah. "Mereka pinjam uang dari Jepang sana. Itu loan agreement. Yang tandatangani adalah Javic, yang jamin juga Javic," ujarnya. Pengembalian dana pembangunan proyek Balongan yang menggunakan uang dari Javic, kata Tabrani, melalui penjualan sebagian hasil ekspor minyak mentah yang diolah di kilang minyak Balongan. "Dalam perhitungan, ini akan bisa dikembalikan dalam 48 kuartal, artinya 12 tahun. Uang mereka sudah kembali semua dan kilang jadi milik Pertamina seratus persen," tuturnya. Tabrani mengatakan, estimasi biaya pembangunan proyek Balongan senilai 1,859 miliar dolar adalah angka yang sangat optimistis dan sudah berdasarkan negosiasi. "Enam bulan kita berunding. Semula 2,532 miliar dolar, kita berhasil turunkan 1,859 miliar dolar. Artinya, saya sudah berhasil menekan lebih dari 700 juta dolar," ujarnya. Saksi ahli yang dihadirkan oleh kuasa hukum Tabrani, OC Kaligis, Tatang Soeriawidjaja, dari Departemen Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung, juga mengatakan, estimasi yang dibuat untuk proyek Balongan sudah termasuk angka yang wajar. Pada tingkat kasasi, MA menjatuhkan vonis enam tahun penjara dan hukuman denda Rp30 juta subsider tiga bulan kurungan serta membayar ganti kerugian negara sebesar 189,58 juta dolar AS kepada Tabrani. Sedangkan pada pengadilan tingkat pertama, Tabrani dibebaskan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat karena dinilai tidak terbukti melakukan korupsi dan merugikan keuangan negara sebesar 189,58 juta dollar AS. Direktur Pengolahan Pertamina itu sempat dinyatakan buron sejak 18 September 2006. Namun, ia tertangkap di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, pada 14 Februari 2007. Vonis kasasi MA menyatakan Tabrani telah terbukti merugikan keuangan negara sebesar 189,58 juta dolar AS, karena uang yang digunakan untuk melaksanakan proyek Exor I Balongan adalah pinjaman yang harus dibayar oleh negara. Dana dalam proyek Balongan berasal dari Java Investment Company, sebuah perusahaan patungan dari beberapa perusahaan dagang di Jepang.(*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007