Tokyo (ANTARA News) - Setelah lebih dari 4 dekade memerangi kemiskinan, Bank Pembangunan Asia (ADB) tengah mempertimbangkan target ambisius terkait keberadaanya dalam situasi perubahan ekonomi yang sangat cepat. Dengan angka kemiskinan yang diprediksi berhasil dijinakkan di Asia pada akhir dekade mendatang, isu penting yang akan dibahas dalam pertemuan tahunan ADB akhir pekan ini di Kyoto adalah bagaimana mempertajamkan fokus mereka sesuai dengan kondisi terkini. "Ekonomi Asia tumbuh cukup cepat dan itu berarti angka kemiskinan absolut akan turun pada 2020," kata Presiden ADB, Haruhiko Kuroda, dalam sebuah interview dengan kantor berita AFP. Namun dia mengatakan, sebenarnya masih banyak orang yang masih hidup hanya dari dua atau tiga dolar AS setiap hari, meski pendapatan mereka sebenarnya naik di atas batas satu dolar per hari. "Dan bahkan jika masalah kemiskinan pendapatan berhasil diturunkan, angka kematian anak, kasus HIV/AIDS, air bersih, sanitasi - dan masih banyak kasus non pendapatan terkait, Tujuan Pembangunan Milenium akan sulit diselesaikan, bahkan pada 2015-2020," kata Kuroda Sebuah panel ahli bulan lalu meminta ADB agar mentransformasikan diri mereka sendiri secara radikal dengan asumsi kemiskinan absolut akan berhasi ditangani di banyak negara Asia pada 2020. Mereka mengatakan ADB harus meningkatkan fokus mereka untuk mendukung pertumbuhan berkelanjutan yang berbasis keadilan dan lingkungan, serta melakukan pendekatan yang lebih regional atau global daripada pendekatan individu negara. "Argumen mereka, saya kira benar adanya, meski terlalu luas," kata Kuroda, mantan Wakil Menteri Keuangan Jepang bidang urusan internasional yang mulai menjabat Presiden ADB sejak 2005. "Bagaimana mengentaskan kemiskinan hingga 2020 dan bagaimana mereformasi diri sendiri sebagai respon perubahan kebutuhan negara-negara berkembang Asia -- itulah tantangan terbesar ADB," katanya. Peran utama ADB ketika didirikan pada 1966 adalah meminjam uang dari pasar modal untuk dipinjamkan bagi pembangunan negara ekonomi Asia yang tengah berusaha memperoleh dana murah. Namun, kini banyak negara Asia bisa secara mudah masuk ke pasar modal sendiri. Singapura dan Korea Selatan, misalnya, telah menjadi negara donor bagi ADB, meski saham terbesar masih dimiliki oleh AS dan Jepang, lalu China serta India. Negara-negara Asia juga telah mulai mengumpulkan cadangan devisa dalam jumlah besar, sehingga sekarang mereka tengah memikirkan penggunaan yang lebih baik dana tersebut bagi pembangunan mereka. "Pada dekade ke depan, akan ada banyak negara yang menjadi negara donor, tapi saya juga harus mengatakan banyak negara, seperti India, Pakistan dan Bangladesh, yang akan terus menarik pinjaman," kata Kuroda. Dan sementara negara-negara ekonomi maju hanya membutuhkan sedikit pinjaman untuk memerangi kemiskinan, kebutuhan besar untuk investasi pada infrastruktur irit energi efisien masih akan tetap ada, tambahnya. "Bantuan kami bisa dianggap naik daripada turun," kata dia, sambil menuturkan bahwa pinjaman ADB 6,82 miliar dolar AS pada 2006 lebih disebabkan oleh kebutuhan investasi infrastruktur Asia yang mencapai 300 miliar dolar per tahun. Uang tunggal Asia Pertemuan tahunan yang berlangsung empat hari itu juga akan membahas kesehatan ekonomi Asia pasca krisis finansial regional, seperti juga prospek untuk integrasi sektor keuangan lanjutan. Tahun lalu 10 anggota ASEAN bersama China, Jepang dan Korea Selatan sepakat untuk mengkaji kemungkinan penggunaan mata uang tunggal Asia seperti euro, meski tampaknya belum akan ada kemajuan dalam waktu dekat. Kurodan mengatakan mata uang tunggal Asia adalah "visi jangka panjang". "Bahkan mata uang tunggal Eropa butuh 30 tahun setelah dimulainya proses diskusi. Di Asia, waktu yang dibutuhkan lebih panjang," katanya. Para menteri ASEAN akan bertemu pada Sabtu (5/5) di sela-sela pertemuan ADB untuk membahas bagaimana mendorong pertukaran mata uang bilateral yang diperkenalkan pada 2000 untuk mencegah terjadinya krisis keuangan regional kembali. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007