Jakarta (ANTARA News) - Kasus keracunan makanan dan minuman akibat penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) pemanis, pengawet, pewarna, dan pengental sangat rendah hanya kurang dari satu persen penyebab keracunan, sehingga masyarakat diminta tidak perlu khawatir dengan penggunaan BTP pada produk pangan. Hal itu dikemukakan Ketua Dewan Pakar Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman (PIPIMM) Prof FG Winarno pada gathering yang juga dihadiri Ketua PIPIMM Suroso Natakusuma serta Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan BPOM, Aziza Nuraini W, di Jakarta, Kamis. "Kasus keracunan makanan terbesar atau sekitar 90 persen terjadi akibat kontaminasi makanan dari mikroba, dan sisanya keracunan lainnya yang diantaranya kurang dari satu persen akibat BTP," ujar Winarno yang pernah menjadi Ketua Codex Alimentarius lembaga standarisasi keamanan produk pangan dunia. Diakuinya kasus keracunan pangan merupakan kasus kesehatan terbesar setelah masuk anging biasa. Namun kebanyakan keracunan makanan terjadi karena lingkungan yang kotor dan tercemar. "Masyarakat tidak perlu khawatir mengkonsumsi BTP karena dilarang dan tidak aman. Bahkan banyak BTP justru dianjurkan karena ingin meningkatkan daya simpan, kepraktisan penyajian, selera tekstur, dan kenikmatan," ujar Winarno. Ia mengatakan mengatakan BTP sudah berkembang dan dipakai sejak 100 tahun yang lalu dan saat ini BTP yang termasuk zat aditif mencapai sekitar 3.500 jenis dan CODEX yang menjadi acuan BPOM mengenai penggunaan BTP juga memperbolehkan penggunaan sejumlah BTP. "Namun penggunaannya tidak boleh berlebihan karena bersifat toksik bagi hewan maupun manusia. Oleh karena itu perlu ditetapkan batas penggunaan harian BTP untuk melindungi kesehatan konsumen," katanya. Lebih jauh ia mengharapkan agar kalangan produsen pangan olahan berlaku jujur mencantumkan BTP baik berupa bahan pengawet, pemanis, maupun pewarna, karena iklan mengenai suatu produk tidak menggunakan pengawet atau zat pewarna justru menyebabkan chemophobia atau ketakutan konsumen terhadap konsumsi bahan kimia. "Iklan dan klaim negatif yang menyatakan produk tertentu tidak mengandung pengawet atau pewarna justru menyebabkan konsumen kita menjadi chemophobia, seharusnya konsumen kita didik supaya tidak takut mengkonsumsi bahan kimia," katanya. Lebih jauh, Winarno mengharapkan pemerintah melakukan penandaan atau penggunaan kode khusus untuk penggunaan BTP seperti yang dilakukan negara di Uni Eropa dan Amerika Serikat, guna mempermudah konsumen mengetahui jenis BTP. Ia mencontohkan di Eropa penandaan BTP sudah dilakukan sejak 1996, misalnya untuk kode E-300 berarti ada tambahan zat Vitamin C dan E 201 berarti natrium sorbat. Di AS misalnya menggunakan kode Food & Drug and Cosmetic (FC&C) sehingga kode FD&C Red No.2 berarti ada BTP pewarna tambahan, amaranth yang memberi warna merah.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007