Jakarta (ANTARA News) - Pekerjaan pengadaan KTP elektronik (KTP-E) 2011-2012 senilai total Rp5,9 triliun tidak selesai dan terlampau mahal, kata jaksa penuntut umum KPK Mochamad Wirasakjaya dalam sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis.

"Semua pekerjaan pengadaan KTP-E sesungguhnya tidak dapat disubkontrakkan kecuali terdakwa II Sugiharto memberikan persetujuan secara tertulis, tapi dalam pelaksanaannya anggota konsorsium PNRI mensubkontrakkan sebagian pekerjaan tanpa persetujuan tertulis Sugiharto," katanya.

Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen di direktorat jenderal itu, Sugiharto. Korupsi dalam pengadaan KTP-E tahun anggaran 2011-2012 merugikan keuangan negara hingga Rp2,314 triliun.

Selain mensubkontrakkan sebagian besar pekerjaan, konsorsium PNRI juga tidak dapat memenuhi target minimal pekerjaan seperti dalam kontrak.

Namun, agar tetap terjadi pembayaran, Sugiharto atas persetujuan Irman melakukan sembilan kali perubahan adendum kontrak mulai 12 Oktober 2011 hingga 27 Dsember 2013.

Pada adendum kontrak keempat 16 April 2012, Irman menerima uang dari Andi Agustinus sejumlah 700 ribu dolar AS yang lalu diberikan ke Sugiharto 100 ribu dolar AS, Diah Anggraini 300 ribu dolar AS dan atas perintah Gamawan Rp500 juta digunakan untuk membiayai rapat kerja dan seminar nasional asosiasi Pemerintah Desa seluruh Indenesia di Yogyakarta pada 24 Maret 2014, sisanya untuk Irman

"Maksud para terdakwa melakukan sembilan kali adendum adalah agar terdakwa II tetap dapat melakukan pembayaran kepada konsorsium PNRI dan akhirnya para terdakwa mendapatkan sejumlah uang dari konsorsium PNRI meski konsorsium tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sebagaimana ditentukan dalam kontrak," ungkap jaksa.

Pekerjaan yang belum selesai meliputi:

  • Konsorsium PNRI tidak melakukan personalisasi dan distribusi terhadap 27.415.747 keping blangko KTP- dan hanya melakukan personalisasi sebanyak 144.599.653 keping padahal dalam berita acara serah terima disebut sebanyak 145 juta keping.
  • Sugiharto dan konsorsium PNRI menetapkan harga pengadaan sistem AFIS berdasarkan jumlah data yang direkam bukan berdasar satu kesatuan sistem sehingga pemerintah ahrus membayar perangkat lunak dan perangkat keras untuk mendukung sistem AFIS.
  • Konsorsium PNRI tidak dapat mengitegrasikan antara Hardware Security Modul (HSM) dengan Key Management System (KMS) sehingga tidak memenuhi spesifikasi sistem keamanan kartu dan data.
  • Pelaksanaan pekerjaan Jaringan Komunikasi Data (Jarkomdat) konsorsium PNRI dan PT Aqadra Soultion mensubkontrakkan kepada PT Indosat yang pelaksanaan dan pembayarannya tidak sesuai kontrak
  • Dalam pelaksanaan pekerjaan Helpdesk Management Sytem PT Sucofindo hanya menyediakan 84 orang, padahal menurut kontrak seharusnya 169 orang, dan tetap dibayar untuk 169 orang.
  • Ada perbedaan metode pemadanan identifikasi dengan verifikasi data berdasarkan kerangka acuan kerja yang seharusnya mengunakan sidik jari tapi konsorsium menggunakan iris sehingga ketunggalan KTP elektronik tidak dapat dipertanggungjawabkan.
  • Penggunaan printer Fargo HDP5000 untuk pencetakan KTP-E terdapat penguncian spesifikasi di mesin cetak sehingga pengguna tidak dapat menggunakan mesin cetak lain dan harganya dikendalikan penjual.
  • Pekerjaan pendampingan teknis yang dilakukan oleh PT Sucovindo tidak sesuai kontrak karena ada manipulasi penandatanganan kontrak pengadaan tenaga pendamping dan dokumen pembayarannya.
  • Konsorsium PNRI menggunakan chip merek NXP P 308 dan ST Mircro ST 23 YR yang tidak bersifat terbuka sehingga menyebabkan ketergantungan pada produk tersebut.

"Meski pekerjaan tidak memenuhi target dan tidak sesuai kontrak, para terdakwa justru memerintahkan panitia pemeriksa dan penerima hasil membuat berita acara yang disesuaikan dengan target dalam kontrak sehingga seolah-olah konsorsium PNRI telah melakukan pekerjaan sesuai target," ungkap jaksa.

Sampai akhir pelaksanaan pekerjaan pada 31 Desember 2013, blankto KTP-E hanya sejumlah 122.109.759 keping, di bawah target pekerjaan dalam kontrak yaitu pengadaan, personalisasi dan distribusi sebanyak 172.015.400 keping blangko KTP-E.

Konsorsium PNRI tetap mendapat pembayaran Rp4,917 triliun yang dilakukan secara bertahap mulai 21 Oktober 2011 sampai 30 Desember 2013.

"Setiap menerima pembayaran dipotong dulu sebesar dua sampai tiga persen untuk kepentingan manajemen bersama sehingga uang potongan mencapai Rp137,989 miliar yang bersumber dari pemotongan pembayaran tagihan lima perusahaan konsorsium," jelas jaksa.

Pemotongan Perum PNRI sebesar Rp42,84 miliar, pemotongan PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp19,31 miliar, pemotongan PT Quadra Solution sejumlah Rp43,28 miliar, pemotongan PT Sucofindo sebsar Rp5,78 miliar dan pemotongan PT LEN Industri sejumlah Rp26,76 miliar.

Setelah masa pembayaran, Sugiharto memberikan uang secara bertahap kepada Irman yang seluruhnya berjumlah Rp1,371 miliar; 77,7 ribu dolar AS dan 6 ribu dolar Singapura.

Dari jumlah itu, sejumlah Rp876 juta, 73,7 ribu dolar AS dan enam ribu dolar Singapura digunakan untuk membiayai kepentingan Irman dan diberikan kepada Gamawan Fauzi sejumlah Rp50 juta saat kunjungan kerja di Balikpapan, Batam, Kendari, Papua dan Sulawesi serta diberikan ke Diah Anggraini sejumlah RP22,5 juta saat kunjungan ke Kalimantan Seltan, Sulawesi Selatan dan Papua.

Irman dan Sugiharto juga memberikan uang kepada Sekretaris Fraksi Partai Golkar Ade Komarudin pada pertengahan 2013 sejumlah 100 ribu dolar AS untuk membiayai pertemuan Ade dengan para camat, kepala desa dan tokoh masyarakat di Bekasi.

Penganggaran dan pengadaan itu menyebabkan uang yang dibayarkan Sugiharto kepada konsorsium PNRI lebih mahal dibanding yang seharusnya hanya sejumlah Rp2,626 triliun.

Rangkaian perbuatan terdakwa bersama-sama tersebut memperkaya Irman sejumlah RP2,371 miliar; 877,7 ribu dolar AS dan enam ribu dolar Singapura serta memperkaya Sugiharto sejumlah 3.473.830 dolar AS serta memperkaya orang lain dan korporasi.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017