Jakarta (ANTARA News) - Komisi Yudisial (KY) dan Komisi III DPR saling lempar soal kelanjutan nasib Achmad Ali sebagai calon hakim agung, setelah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) itu ditahan oleh Kejaksaan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan. Ketua KY, Busyro Muqoddas, di Jakarta, Selasa, mengatakan setelah KY menyerahkan enam nama calon hakim agung yang lolos pada seleksi tahap pertama kepada DPR, maka KY tidak lagi memiliki wewenang untuk menentukan nasib para calon tersebut. "KY tidak lagi memiliki wewenang. Nama-nama itu sudah diserahkan kepada DPR, sehingga proses politik di DPR lah yang akan menentukan," katanya. KY, lanjut dia, tidak akan berbuat apa-apa untuk menentukan apakah pencalonan Achmad Ali sebagai hakim agung dapat diteruskan. Sebaliknya, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Suryama, menilai kewenangan untuk menentukan apakah Achmad Ali masih bisa dicalonkan sebagai hakim agung masih berada di tangan KY. Menurut Suryama, setelah Komisi III menolak untuk menguji kelayakan calon hakim agung yang hanya berjumlah enam orang, yang diserahkan oleh KY kepada DPR pada seleksi tahap pertama, maka kewenangan untuk menentukan nasib enam calon itu masih berada pada KY. Ia justru berpendapat saat ini merupakan kesempatan bagi KY untuk menilai apakah Achmad Ali masih pantas untuk dicalonkan sebagai hakim agung. "Proses politik di DPR belum dimulai. Setelah Bamus mengembalikan enam nama calon kepada KY, maka kewenangan untuk menentukan nasib mereka masih berada pada KY," kata Suryaman. Namun, Busyro mengatakan Bamus hanya meminta KY untuk menambah 12 nama calon lagi tanpa mengembalikan enam nama yang telah lolos pada seleksi pertama kepada KY. Busyro pun menambahkan keputusan untuk menunda uji kelayakan enam calon hakim agung yang lolos pada seleksi tahap pertama merupakan keputusan DPR sendiri, bukan KY. Achmad Ali yang termasuk dalam enam nama calon hakim agung yang diloloskan oleh KY untuk mengikuti uji kelayakan di DPR, ditahan oleh Kejaksaan Negeri Makassar pada Senin, 7 Mei 2007, sebagai tersangka kasus korupsi dana Pasca Sarjana Fakultas Hukum Unhas senilai Rp250 juta. Koordinatow Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki, menyarankan agar KY dan DPR untuk duduk bersama guna menentukan nasib Achmad Ali. Meski kasus yang menimpa Achmad Ali belum memasuki tahap pengadilan dan masih berupa indikasi, Teten berpendapat sebaiknya seorang yang berstatus tersangka tidak diloloskan untuk menjadi hakim agung karena dapat memberi preseden buruk. Suryama mengemukakan status Achmad Ali sebagai tersangka dan tahanan Kejari sebenarnya tidak melanggar persyaratan calon hakim agung. Seseorang tidak dapat menjadi hakim agung apabila dipidana lebih dari lima tahun oleh putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, Suryama mengatakan pencalonan Achmad Alitentunya cacat dari segi moralitas dan membuat publik bertanya-tanya soal kredibilitas KY yang meloloskan seorang tersangka sebagai calon hakim agung. (*)

Copyright © ANTARA 2007