Sidoarjo (ANTARA News) - Perwakilan warga Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang menjadi korban semburan lumpur panas Lapindo, Rabu, kembali mendatangi Kantor Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinkessos) Sidoarjo meminta agar jatah makan dapat diganti dengan uang tunai. Kepala Dinkessos Sidoarjo, Hisjam Rosyidi yang didatangi korban lumpur di kantornya itu mengemukakan, tuntutan yang diajukan warga Renokenongo itu telah ia terima pada Senin (7/5), dan telah diteruskan kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) serta Lapindo untuk mendapatkan jawaban. Meski surat tuntutan sudah diajukan ke BPLS dan Lapindo, namun hingga saat ini Din kesos belum mendapat surat tanggapan/jawaban. "Kami tidak keberatan dan tidak menyalahkan warga meminta untuk difasilitasi, namun kenyataannya hingga saat ini kami belum menerima tanggapan apa-apa dari BPLS maupun Lapindo," ungkapnya. Agar permintaan cepat ditanggapi, pihaknya meminta tuntutan warga dapat disampaikan langsung ke Lapindo sebagai pemberi dana. Selama ini, Dinkessos hanya menerima cek dari Lapindo sesuai jatah pengungsi yang ada. Salah satu warga Renokenongo yang tergabung dalam Paguyuban Rakyat Renokenongo Menolak Kontrak (Pagar Rekontrak), Halimah (35), menyatakan, proses penggantian jatah makan harus secepatnya dilakukan. Warga Renokenongo sudah tidak bisa lagi bekerja sebagai petani seperti biasanya, karena lahan sawah yang mereka jadikan penyambung hidup sudah tidak bisa digunakan. Oleh karena itu, warga meminta agar jatah konsumsi yang biasa diberikan berupa makanan bungkusan dapat diberikan secara tunai saja. "Jika sekali makan, warga dihargai Rp5.000/kepala, berarti sehari mendapatkan Rp15.000/kepala. Kami minta diberi uang saja, agar kami dapat mengelolanya sendiri sesuai kebutuhan yang ada," paparnya. Selain mendatangi Dinkessos Sidoarjo, warga korban lumpur itu, juga menuju Dinas Pendidikan Sidoarjo untuk menuntut agar anak-anak sekolah pengungsi dibebaskan dari seluruh bentuk biaya sekolah atau hal-hal yang terkait dengan aktivitas sekolah. Sementara itu, PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Jatim akan memberikan kelonggaran angsuran kredit bagi debitur bermasalah yang merupakan warga korban lumpur di Porong, Sidoarjo. Ada tiga langkah yang dilakukan, yakni memberikan keringanan berupa perpanjangan masa angsuran kredit, penurunan bunga kredit dan penangguhan kredit. "Kami melihat secara manusiawi, bagaimana mereka (korban lumpur) membayar angsuran kreditnya, kalau biaya kehidupan sehari-harinya saja susah. Kami merespon dengan memberikan bantuan insentif untuk aspek sosialnya. Jangan menganggap bank hanya memeras masyarakat supaya untung terus, tetapi dalam kondisi seperti itu, kami memberi perhatian," tutur Direktur Utama PT BPR Jatim, A Rahman Kamil. PT BPR Jatim telah memperhitungkan bagi debitur bermasalah seperti membayar angsuran kredit kurang lancar, persyaratan debitur yang masih meragukan dan kredit macet. Konsekuensinya, adalah adanya biaya terhadap bank yang dinamakan biaya pembentukan pencadangan dari total kredit. Yakni, untuk kredit kurang lancar sebesar 15 persen, kredit diragukan 50 persen dan kredit macet 100 persen. Inilah yang mempengaruhi keuntungan bagi bank atau neraca rugi laba. Pasalnya, banyak kredit bermasalah akan menyebabkan keutungan kecil bagi bank. "Semisal, debitur yang meminjam Rp10 juta dan posisinya diragukan, maka bank harus menciptakan biaya 50 persen dari total kredit dikurangi nilai jaminan. Kami biasanya memperhitungkan seolah-olah nilai jaminan itu sekecil mungkin. Karena menjual jaminan tidak semudah melepas kredit," paparnya. Pengalaman unik yang pernah terjadi, saat PT BPR Jatim melakukan penagihan bagi debitur bermasalah. Ketika dicari di Posko Pengungsian Pasar Baru Porong, warga korban lumpur tidak berada di tempat. Ternyata, setelah mereka ditemukan di Terminal Purabaya (Bungurasih), Waru Sidoarjo, salah seorang debitur melarikan diri ketakutan. Padahal, direksi ingin memberikan atensi berupa bantuan sembako. Berdasarkan laporan dari PT BPR Jatim Cabang Sidoarjo, jumlah debitur bermasalah di kawasan Porong 50 orang nasabah. Nilai kredit bermasalah itu sekitar Rp200 juta. Angka kredit macet ini dianggap belum terlalu signifikan. Pasalnya, total aset di BPR Sidoarjo saat ini mencapai Rp5 miliar. "Kami juga belum memberikan batas waktu pembayaran kredit bermasalah itu, karena belum ada kepastian kapan luapan lumpur itu berhenti. Tetapi, bukan berarti kami tidak menagih, hanya saja dilakukan pendekatan secara manusiawi. Jika mereka (korban lumpur) bersikap kooperatif, akan dilakukan secara kekeluargaan dan dihindarkan upaya eksekusi jaminan kredit," ujarnya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007