Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah memiliki peluang meningkatkan anggaran pendidikan hingga mencapai 20% sebagaimana diamanatkan UUD 1945, dengan memanfaatkan moratorium (penjadwalan) pembayaran utang luar negeri. Hal itu disampaikan Wakil Ketua Fraksi PAN, Hakam Naja, dalam keterangan bersama sejumlah anggota DPR yang tergabung dalam Kaukus Pendidikan DPR, di Gedung DPR/MPR Jakarta, Rabu. Selain Hakam Nadja, juga hadir Heri Akhmadi dan Agung Sasongko (PDIP), Nizar Dahlan (Bintang Pelopor Demokrasi/BPD) dan Slamet Effendi Yusuf [Golkar) serta Masduki Baidlowi (FKB). Hakam Nadja mengemukakan pemanfaatan moratorium (penjadwalan) pembayaran utang luar negeri itu merupakan langkah yang paling memungkinkan untuk memenuhi besarnya anggaran 20% sebagaimana amanat kosntitusi. "Ini cara yang paling mudah karena tidak memerlukan waktu panjang," katamya. Menurut dia, beberapa waktu lalu pasca bencana tsunami, sejumlah negara donor sudah menawarkan moratorium pembayaran utang. Namun hal itu tidak dimanfaatkan pemerintah karena alasan kredibilitas dan reputasi bangsa. Agung Sasongko dari Fraksi PDIP mengusulkan dana pendidikan bisa diambil dari para pengemplang BLBI yang jumlahnya mencapai Rp600 triliun dan juga memburu para cukong illegal logging yang merugikan negara sampai Rp400 triliun. "Dana ini sudah cukup untuk memenuhi anggaran 20% dari APBN," katanya. Heri Akhmadi yang juga Wakil Ketua Komisi X (bidang pendidikan) mengemukakan, sebanyak 37 anggota DPR membentuk Kaukus Pendidikan untuk mendesak pemerintah menganggarkan APBN untuk pendidikan 20 persen pada APBN 2008. Kaukus mengancam mengampayekan penolakan memilih Capres/Cawapres yang gagal memenuhi amanat UUD`45. "Karena itu, kita mulai mengkampanyekan jangan pilih Presiden yang tak peduli pendikan," katanya. Mengenai kemungkinan amendemen UUD 1945 yang mengurangi anggaran pendidikan, Heri mengatakan hal itu sangat tidak realistis karena pemerintah sama saja mundur seperti di era Orde Baru, dimana anggaran pendidikan hanya mendapat porsi kecil. "Kalau mau jadi bangsa kuli, ya memang anggaran pendidikan tidak perlu sampai 20%," katanya. Padahal, Malaysia sudah memberikan anggaran pendidikan sampai 27,8% dari APBN-nya atau hampir sekitar 7,8% dari Produk Domestik Bruto [PDB]. Indonesia hanya 3% dari PDB atau sekitar 11,8% dari APBN. "Di Indonesia, biaya pendidikan untuk satu murid SD dalam satu tahun hanya menyediakan 110 dolar AS atau satu juta rupiah. Sedangkan Malaysia, sudah mencapai 1980 dolar AS atau Rp19,8 juta, India sudah mencapai 390 dolar atau sekitar Rp3,9 juta," katanya. Nizar Dahlan mengemukakan, pihaknya akan dibicarakan persoalan ini dalam rapat Partai Bulan Bintang (PBB) karena masalah ini memang cukup serius. "Ini wacana menarik, karena itu saya akan mengusulkan untuk dibahas dalam rapat PBB dalam waktu dekat," katanya. Slamet Effendy Yusuf lebih menekankan penyediaan anggaran pendidikan unruk mendorong percepatan reformasi birokrasi pendidikan karena ketidakmampuan masyarakat memperoleh pendidikan menyebabkan kemiskinan struktural. "Karena kemiskinan itu sangat dekat kebodohan strukural juga," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007