Manila (ANTARA News) - Putera mantan pemimpin Filipina Ferdinand Marcos pada Senin mengambil langkah untuk penghitungan ulang suara dalam pemilihan wakil presiden pada tahun lalu, saat dia menyatakan kemenangannya dirampok secara tidak adil.

Putera bernama Ferdinand Marcos juga itu, tapi dikenal sebagai Bongbong, kalah dari pegiat warga dan pengacara Leni Robredo dengan sekitar 260.000 suara dalam pemilihan wakil presiden pada Mei.

Ia menentang hasil itu dan Mahkamah Agung pada Februari memutuskan bahwa keberatannya sah, tapi ia harus membayar penghitungan ulang suara tersebut.

Pada Senin, ia menyerahkan sekitar 36 juta peso (lebih dari tujuh miliar rupiah) sebagai pembayaran untuk penghitungan ulang suara di 42 persen dari tempat pemungutan suara.

"Bagusnya, saya punya teman baik hati. Mereka percaya pada penentangan pemilihan umum itu karena saya benar, adil dan jujur," kata Marcos kepada wartawan sesudah menandatangani cek.

Ia tidak merinci nama sejumlah temannya tersebut.

Hubungan Robredo dengan Presiden Rodrigo Duterte jauh dari dekat dan ia sering membuat lelucon di depan umum.

Ia menentang beberapa kebijakannya, termasuk perang mautnya melawan narkotika, dan menyampaikan pesan video kepada pertemuan hak asasi manusia Perserikatan bangsa-Bangsa di Jenewa pada bulan lalu.

Ia juga menentang pemakaman mendiang pemimpin Marcos di makam pahlawan.

Pada tahun lalu, Duterte memerintahkan pembantunya memberitahu Robredo untuk tidak menghadiri sidang kabinet, yang mendorongnya mundur dari jabatan menteri perumahan, meskipun ia tetap wakil presiden.

Kabar angin menyatakan Duterte membela Marcos tapi Duterte membantah mencoba menggulingkan Robredo. Presiden dan wakil presiden dipilih secara terpisah di Filipina.

Marcos mendapat waktu hingga 14 Juli untuk membayar 30 juta peso guna mengadakan penghitungan ulang suara di lebih dari 39.000 tempat pemungutan suara di seluruh Filipina.

Ia menyatakan penghitungan suara saat itu dimanipulasi untuk mendukung Robredo, yang menantang keberatannya di pengadilan tinggi, dengan mengatakan ia tidak secara khusus mengatakan di mana penyimpangan tersebut terjadi.

Ayah Duterte, mantan gubernur di provinsi Mindanao, menjabat di bawah Marcos tua ketika ia pertama kali terpilih menjadi Presiden pada 1965.

Marcos digulingkan dalam unjuk rasa pada 1986 dan meninggal di Hawaii pada 1989, demikian Reuters.

(B002/M016)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017