New Delhi (ANTARA News) - Para pecinta lingkungan hidup, yang menangkap sinyal peningkatan konsumsi barang-barang elektronik di India, kini mendesak pihak produsen agar ikut ambil bagian dalam upaya mengendalikan sampah elektronik yang berbahaya. Sekitar 300 juta penduduk India berstatus ekonomi menengah saat ini sedang "berlomba" membeli barang-barang elektronik, seiring dengan persaingan global yang berdampak turunnya harga. Harga barang elektronik pada saat ini sudah jauh lebih terjangkau daripada 10 tahun lalu, ketika banyak keluarga India tidak sanggup membeli barang elektronik tersebut. "Kami mulai mengingatkan," kata Vinuta Gopal, jurubicara kelompok lingkungan hidup Greenpeace India. Menurut dia, "Laju produksi India menghasilkan semi-konduktor, merakit komponen, dan sektor komputer meningkat cepat bak meteor." "Hampir semua produk itu dibuat dengan bahan-bahan kimia berbahaya ... jika industri tidak bertanggungjawab dan pemerintah tidak menunaikan fungsi kepemimpinannya ... maka sampah elektronik (`e-waste`) akan meluap di hadapan kita," kata dia. Di India, tiap tahunnya 146.000 ton sampah elektronik dibuang tanpa ketentuan hukum yang spesifik. Namun belakangan ini UU Polusi yang telah disahkan 8 tahun silam akan diperluas jangkauannya untuk menangani limbah elektronik. "Limbah elektronik diatur oleh perundang-undangan ini," kata Menteri Lingkungan Hidup N.M. Meena kepada parlemen pada awal Mei. Ia menambahkan, selain itu upaya pemantauan sampah elektronik juga sedang dikembangkan sistemnya saat ini. "Badan Pusat Kendali Polusi telah melakukan penelitian untuk mempersiapkan `dokumen-pemandu` daur-ulang limbah elektronik," kata dia. Namun, penggiat lingkungan hidup mendesak penanganan yang lebih dari itu. "Panduan umum tidak akan cukup mengatasi limbah elektronik dan apa yang kita butuhkan adalah kebijakan pengurangan dan peraturan daur-ulang, infrastruktur pengelolaan sampah, dan investasi," kata Rajiv Agarwal, direktur forum lingkungan hidup "Toxics Link". "Pemerintah menghindari langkah mengambil tindakan yang tegas karena pemerintah tidak ingin membatasi industri teknologi dan informasi (TI)," kata Agarwal. Sementara itu konsultan "Frost and Sullivan" memperkirakan industri elektronik India akan tumbuh 30 persen tiap tahunnya hingga sekitar 2,5 miliar dolar pada tahun 2010. "Industri ini di India sedang melesat cepat," kata Sathyamurthy Sabarinath dari "Frost and Sullivan". Pertumbuhan sektor ini disokong oleh ledakan permintaan untuk barang-barang telekomunikasi dan komputer di India, di mana sekitar 25 juta orang bergabung dalam kelas menengah pada setiap tahunnya. Industri komputer India saat ini ditaksir mencapai 7 miliar dollar, dengan 90 persen pasokan bahan produksi datang dari pasar dalam negeri. "Frost and Sullivan" memperingatkan bahwa sektor industri harus mulai memikirkan langkah-langkah untuk mengendalikan lonjakan limbah elektronik. Asosiasi Pabrik Teknologi dan Informasi India (MAIT) mengatakan bahwa pihaknya telah meluncurkan sebuah proyek yang melibatkan India, Uni Eropa, dan Switzerland untuk "membantu, adaptasi, dan memfasilitasi unit proses sampah" yang akan rampung pada lima tahun mendatang. Namun demikian, negara bagian Maharashtra dan Karnataka - sentra industri TI India - secara mandiri telah membuat unit pengolah daur-ulang sampah berbahaya, kata presiden MAIT, Winnie Mehta. Kota-kota terbesar India, seperti Bangalore, Chennai, Kalkuta, dan Delhi, saja disebut-sebut menghasilkan 29.000 ton limbah elektronik tiap tahunnya, demikian laporan AFP. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007