Surabaya (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah merespon metode "counter presseur" yang diusulkan tim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, dalam upaya menghentikan semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jatim. "Respon itu ditunjukkan presiden yang membalas SMS kami melalui Ibu Ani Yudhoyono dalam sehari pada Rabu (16/5) pukul 16.05 WIB," ujar koordinator tim ITS, Ir Djaja Laksana, di Surabaya, Kamis. Ia menceritakan respon presiden itu, saat didampingi tiga anggota tim ITS Surabaya yakni Prof Dr Ir I Nyoman Sutantra (Teknik Mesin/LPPM-ITS), Prof Dr Ir Raka (Ahli Beton/Teknik Sipil ITS), dan Prof Dr Ir I Made Arya Djoni (Ahli Mekanika Fluida ITS). Menurut alumnus Teknik Mesin ITS Surabaya itu, presiden telah menerima presentasi metode stop lumpur dari tim Jepang yang dipimpin ahli teknik sipil Takashi Okamura dengan metode "counter weight" (cofferdam) di Jakarta (11/5). "Itu bukti pemerintah kurang percaya terhadap karya anak bangsa. Karena itu, kami mengirim SMS yang berbunyi `Usulan tim Jepang itu sama dengan solusi tim ITS, kenapa tidak menggunakan tim dari bangsa sendiri`," ucapnya. SMS itu, tutur pengusaha di Ngoro Industrial Estate Mojokerto itu, langsung dibalas presiden dengan menyatakan "Kalau saudara punya solusi, silahkan ke tim atau ke bupati, jangan ditunggu-tunggu lagi`." Oleh karena itu, katanya, respon presiden untuk menggunakan metode karya anak negeri yang mengacu kepada Hukum Bernoulli (sistem keseimbangan tekanan) itu, akan ditindaklanjuti dengan mengadakan pertemuan dengan tim Jepang. Senada dengan itu, ahli Teknik Mesin Prof Dr Ir I Nyoman Sutantra (LPPM-ITS) menyatakan, pihaknya merencanakan pertemuan dengan ahli geologi dan tim Jepang pada akhir Mei atau awal Juni. "Pertemuan itu akan menguji kelebihan dan kelemahan dari masing-masing sistem, kemudian hasilnya akan dilaporkan kepada presiden untuk dipilih," paparnya. Rp250 Miliar Djaja Laksana menambahkan, sistem yang ditemukan pada 20 September 2006 dan didaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM dengan nomor paten 00200700135 itu, sudah dipresentasikan kepada Timnas (20/9/2006) dan BPLS. "Karena itu, kami berharap presiden untuk menghargai karya anak negeri dan untuk meyakinkan itu kami akan menguji sistem dari tim Jepang dan tim ITS itu, kemudian hasilnya terserah presiden," ujarnya. Sementara itu, ahli beton dari Teknik Sipil ITS Prof Dr Ir Raka menegaskan bahwa prinsip dari metode "counter presseur" dari ITS dengan metode "counter weight" dari Jepang sebenarnya sama. "Bedanya, teknologi Jepang mengalirkan air lumpur ke Kali Porong, sedangkan teknologi ITS mirip sistem kerja pompa yang naik-turun dan pada kapasitas tertentu akan memaksa lumpur masuk ke dalam perut bumi," ungkapnya. Lumpur yang masuk ke dalam perut bumi itu, akan menutup rekahan-rekahan tanah yang ada di pusat semburan/luapan lumpur. Kemudian semburan baru akan dihadang dengan tanggul yang dilapisi baja di sekitar cerobong alumunium. "Jadi, tim Jepang membuat cerobong, kemudian mengendapkan airnya untuk disalurkan ke Kali Porong, sedangkan tim Indonesia membuat cerobong alumunium yang diisi pipa pompa untuk memungkinkan naik-turunnya lumpur dan sebagian lumpur dimasukkan ke dalam perut bumi untuk menutup rekahan tanah," paparnya. Selain itu, tim Jepang mematok biaya sekitar Rp600 miliar, sedangkan tim ITS hanya menaksir biaya Rp250 miliar. "Biaya itu, menjadi tanggungjawab Lapindo," kilahnya. Ditanya tentang kajian teknis untuk penerapan metode "counter presseur" di lapangan, Djaja Laksana mengaku, kajian teknis akan dilakukan jika sudah mendapat persetujuan pemerintah. "Kami akan melakukan kajian teknis bila sudah disetujui presiden, mulai dari pengukuran luas tanah yang ambles (runtuh), pemetaan bawah tanah, hingga pengukuran tekanan pusat semburan. Kajian itu akan menentukan berapa waktu yang kami butuhkan," tuturnya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007