Oleh FX Lilik Dwi dan Diah Novianti Jakarta (ANTARA News) - Satri Rusad terlihat panik di depan tujuh pasang mata yang memandanginya. Pemilik tujuh pasang mata itu siap menilai layak tidaknya Satri menjadi hakim agung. Satri yang menjabat Panitera Mahkamah Agung (MA) itu tergagap karena mendapat pertanyaan yang tidak dia sangka bakal dilontarkan tim penilai. Dia diminta menjelaskan tentang catatan kaki berbahasa Inggris yang tercetak dalam makalahnya, yang diakuinya dibuat sendiri. "Bagi saya, terjemahan ini, Bahasa Inggris, tidak begitu apalah," ujarnya. Tujuh pasang mata milik tujuh anggota Komisi Yudisial (KY) semakin terbelalak setelah Satri masih juga tergagap ketika ditanya pendapat pakar hukum yang dikutipnya dalam makalah tersebut. "Apakah `paper` ini ditulis sendiri atau tidak?" akhirnya anggota KY Chatamarrasjid bertanya dengan meragu orisinalitas makalah Satri. "Saya dapat masukan dari kawan-kawan, minta bantuan kawan-kawan di kantor untuk membuat. Anak saya juga membantu membuat, tapi yang membuat saya sendiri," jawab Satri yang sekaligus membenarkan kecurigaan anggota KY. Sehari sebelumnya, api semangat justru menyelimuti Mulyoto, asal Boyolali, Jawa Tengah. Pria yang berprofesi sebagai notaris itu juga mendapat giliran "mempromosikan" diri agar bisa lolos dalam seleksi calon hakim agung itu. Tekad bulatnya untuk mengadu nasib di Jakarta dilandasi keinginan untuk berkiprah di tingkat nasional, sebagai hakim agung. "Saya berperan di Boyolali, sekarang ingin berperan yang lebih nasional," ujarnya. Namun, semangat yang menyala-nyala tidak diimbangi pengetahuan yang memadai. Ia lebih banyak terdiam saat para anggota KY bertanya soal teknis yuridis beracara. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan anggota KY Irawady Joenoes soal perbedaan delik formil dan delik materiil. Mulyoto juga terdiam ketika ditanya tentang "judicial activism" dan "judicial coruption". Tak hanya Mulyoto yang terpaku bingung ketika mendapat pertanyaan yang bersifat teknis dan teoretis peradilan. Sebut saja calon hakim agung dari kalangan hakim karir Abdul Wahid Oscar. Dia harus tergagap di depan tujuh anggota Komisi Yudusial (KY) saat ditanya soal UU Mahkamah Agung dan UU Kekuasaan Kehakimaan. Sedangkan Achmad Ubbe yang dicalonkan oleh pemerintah tampak kerepotan saat tujuh anggota KY bertanya soal teknis yuridis. Ia terdiam saat ditanya perbedaan antara "Judex facti" (pengadilan tingkat bawah) dan "judex juris" (Mahkamah Agung). Satri Rusad, Mulyoto, Abdul Wahid Oscar, dan Achmad Ubbe adalah beberapa dari 16 orang yang menjalani seleksi wawancara untuk menduduki kursi hakim agung di Mahkamah Agung. Sebanyak 16 calon hakim agung itu terdiri atas sepuluh hakim karir dan enam non karir. Sepuluh calon yang berlatar belakang hakim karir adalah Hakim Tinggi Pengawas MA Abdul Wahid Oscar, Ketua TUN Makassar I Ketut Suradnya, Ketua PT Agama Semarang Khalilurrahman, Hakim Tinggi PT Bandung Mahdi Soroinda Nasution. Lalu, Ketua PT Manado M Zaharuddin Utama, Wakil Ketua PT Lampung Mohammad Saleh, Ketua PT Agama Pekanbaru Mukhtar Zamzami, Ketua PT Kendari R Bukaidi Zulkifli, Panitera MA Satri Rusad, dan Wakil Ketua PT Palembang Suparno. Sedangkan, enam calon yang berasal dari non karir adalah Staf Ahli Menkumham Bidang Pengembangan Budaya Hukum Achmad Ubbe, Lektor Kepala Fakultas Hukum Universitas Mataram Anang Husni, Mulyoto yang berprofesi sebagai Notaris di Boyolali. Selanjutnya, Resa Bayun Sarosa yang berprofesi sebagai advokat di Probolinggo, pensiunan Jaksa Robert Sahala Gultom, dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sudjito. Ke-16 calon hakim agung itu menjalani tes wawancara sejak 10 Mei 2007 hingga 15 Mei 2007. Selanjutnya, KY yang bertugas menyeleksi akan menyerahkan nama-nama calon hakim agung yang lolos dari tes wawancara kepada Komisi III DPR pada 23 Mei 2007. Mereka yang lolos akan menjalani uji kelayakan dan kepatutan di lembaga legeslatif itu. Kualitas rendah Setelah aktif menyimak proses wawancara dalam seleksi hakim agung itu, Koalisi Pemantau Peradilan yang merupakan gabungan dari sejumlah Lembaga Swadaya asyarakat (LSM) menilai, secara umum kualitas ke-16 calon hakim agung rendah. Koalisi tersebut terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Masyarakat Pemantau Paradilan Indonesia (MaPPI), Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Menurut koalisi, para calon hakim agung tersebut tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang hukum, hukum acara, peraturan perundang-undangan, dan posisi hukum seorang hakim. "Secara umum menyedihkan," kata Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Emerson Yuntho, yang juga tergabung dalam koalisi. Pernyataan Emerson itu sekaligus menandakan sirnanya optimisme terhadap munculnya institusi Mahkamah Agung (MA) yang reformis. Perubahan internal MA dan perubahan institusi peradilan secara luas tidak akan bisa tercapai, jika sumber daya manusia yang ada didalamnya bukan pribadi yang unggul. "Omong kosong mereka ingin melakukan perubahan, jika dari kualitas saja rendah," katanya menambahkan. Senada dengan Emerson, Direktur Bantuan Hukum dan Advokasi YLBHI, Taufik Basari, juga menegaskan bahwa seorang hakim agung harus menguasai berbagai jenis pengetahuan hukum. Hal itu sangat erat terkait dengan keberadaan MA yang akan menghasilkan putusan pengadilan yang tertinggi. Menurut Taufik, putusan MA harus dihasilkan oleh hakim dengan pengetahuan yang dapat dipercaya, karena pada akhirnya putusan tersebut akan menjadi patokan bagi lembaga peradilan di bawahnya. Keberadaan orang-orang yang dinilai tidak berkualitas dalam seleksi hakim agung itu tidak bisa dilepaskan dari rangkaian proses seleksi yang dilakukan Komisi Yudisial (KY). Sebelum melakukan seleksi aktif pada tes kesehatan dan tes kepribadian, KY hanya menerima usulan calon hakim agung dari beberapa pihak, seperti pemerintah dan MA. Dengan hanya menerima usulan calon, sangat tidak mungkin bagi KY untuk mengetahui kualitas calon sejak awal. Langkah pasif KY dalam menerima usulan calon hakim agung itu dinilai sebagai salah satu penyebab munculnya calon "di luar" harapan. "Selama ini KY pasif," kata Taufik Basari. Menurut dia, sudah saatnya KY bersikap aktif sejak awal seleksi hakim agung. Dengan begitu, maka standar bagi calon hakim agung bisa ditentukan sejak awal. Dengan kata lain, KY tidak akan "kecolongan" dengan keberadaan calon dengan kualitas rendah dan tidak memenuhi persyaratan menjadi hakim agung. Taufik juga mengatakan, keikutsertaan calon dengan kwalitas rendah menunjukkan pemahaman masyarakat terhadap MA masih sangat kurang. Menurut dia, orang hanya terdorong untuk mencoba-coba "melamar" menjadi hakim agung, tanpa bekal pengetahuan hukum yang mencukupi. Bahkan, keinginan untuk menjadi hakim agung kadang tidak muncul dari diri sendiri, melainkan hanya karena dicalonkan oleh pihak lain. "Ini mencerminkan orang yang bergerak di bidang hukum belum melihat MA sebagai lembaga yang penting," kata Taufik. Kenyataan bahwa kualitas sebagian besar calon hakim agung rendah, mendorong Taufik untuk menyarankan, agar KY tidak terpaku pada kuota nama calon yang harus diserahkan kepada DPR. Apabila KY tetap memaksakan menyerahkan 18 calon hakim agung kepada DPR, maka hal itu berarti sebagian besar calon yang kwalitasnya rendah juga memiliki kemungkinan untuk terpilih, katanya. Pertimbangan untuk lebih mengutamakan kwalitas di atas kuantitas itu didasarkan pada keinginan untuk memiliki sedikit hakim agung namun berkualitas, daripada banyak tetapi tidak bisa melakukan perubahan. Oleh karena itu, sebagian kalangan sepakat bahwa secara umum kwalitas calon hakim agung rendah. Namun demikian, harus disadari bahwa seleksi yang dilakukan oleh KY sudah memasuki tahap akhir. Dalam waktu dekat KY akan menyerahkan sejumlah nama yang dianggap memenuhi syarat untuk mengikuti tahap seleksi selanjutnya, yaitu uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Tidak dipungkiri bahwa semua mekanisme yang semula obyektif bisa berubah menjadi sangat politis setelah sampai di tangan para legislator. Untuk itu, harapan terakhir untuk mendapatkan hakim agung yang berkwalitas adalah obyektivitas tahap seleksi di DPR, tanpa intervensi dalam bentuk apapun. "Kalau masih ada intervensi politik, DPR tidak ada komitmen untuk menegakkan hukum," kata Taufik. Sementara itu, Emerson Yuntho menegaskan hendaknya DPR sungguh mempunyai standar kwalitas dalam menentukan orang yang berhak menjadi hakim agung. DPR harus konsisten hanya menentukan sepertiga dari berapapun nama yang diusulkan oleh KY, tentu dengan tetap mengutamakan kwalitas calon. Dicontohkan Emerson, DPR hendaknya menentukan tiga hakim agung jika KY hanya menyerahkan sembilan nama. Terkait kemungkinan adanya intervensi pada tahap uji kalayakan dan kepatutan, Emerson tidak terlalu khawatir dengan mekanisme politis yang biasa terjadi di DPR. Dia lebih mengkhawatirkan intervensi MA untuk meperjuangkan calon hakim agung yang diusulkan lembaga itu. Kemungkinan intervensi MA itu sangat mungkin terjadi karena lembaga peradilan tertinggi itu memiliki kepentingan untuk menciptakan keseragaman dan kemudahan koordinasi dalam menjalankan tugas. Keseragaman dan koordinasi itu hanya bisa tercipta jika hakim agung yang terpilih adalah usulan MA sendiri. Emerson mengatakan, seorang yang ditetapkan menjadi hakim agung sangat mungkin diasingkan jia dia bukan usulan anggota MA lama. DPR, kata Emerson, harus tetap bersikap obyektif selama tahap uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung. Hal itu perlu diperhatikan DPR karena ada indikasi keberadaan mereka yang tidak berkwalitas dalam seleksi didasari semangat "coba-coba" dan "nekat" untuk menjadi hakim agung. "Jangan-jangan hanya orang nekat saja yang ikut seleksi," katanya. Lembaga legeslatif itu diharapkan mengutamakan kualitas, sehingga orang yang nekat mencoba-coba menjadi hakim agung tanpa kemampuan memadai tidak terpilih menjadi hakim nomor satu di negeri yang sedang belajar ini. Alih-alih membuat mahkamah menjadi agung, mereka hanya akan mengurangi keagungan mahkamah. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007