Ramallah, Palestina (ANTARA News) - Setelah pernyataan beberapa negara Arab dan Teluk untuk memboikot Qatar, yang terjadi dua pekan lalu, dan keputusan untuk melakukan tindakan terhadap keamiran tersebut, rakyat Palestina memutuskan untuk netral.

Rakyat Palestina berusaha menghindari kerugian lebih besar karena bergabung dengan salah satu pihak dalam krisis tersebut.

Namun, beberapa pengamat Palestina menyampaikan keprihatinan yang mendalam sehubungan dengan konsekuensi dari krisis yang merebak di Teluk dan dampaknya pada masalah Palestina, pada saat terjadi kemerosotan besar dan kurangnya dukungan, terutama dukungan bersejarah Arab dan Islam.

Pada 5 Juni, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UAE) dan Bahrain, bersama dengan Mesir dan negara lain Arab serta Islam mengumumkan mereka akan memboikot Qatar secara diplomatik dan melakukan tindakan terhadap negara tersebut. Mereka menuduh Doha "mendukung terorisme" dan mendukung Gerakan Ikhwanul Muslimin.

Qatar, yang menurut beberapa pengamat, telah dikenal karena persekutuan regionalnya yang kontroversial, menolak tuduhan tersebut dan mengumumkan negara itu telah menghadapi kampanye untuk menjadikannya sasaran pengawasan Teluk, pada saat negara yang memboikotnya berkeras mempertahankan sikap mereka.

Pemerintah Otonomi Nasional Palestina (PNA) bungkam sejak awal krisis tersebut, kata Xinhua. PNA memilih untuk memantau perkembangan krisis itu tanpa menyampaikan sikap untuk mendukung pihak mana pun dalam krisis tersebut.

Sehubungan dengan itu, seorang anggota Komite Pelaksana Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Ahmed Majdalani mengatakan kepada Xinhua baru-baru ini, posisi resmi Palestina mengenai krisis Teluk ialah "menyelesaikannya melalui dialog dan cara politik".

Majdalani mengatakan semua pihak dalam krisis tersebut tidak menanyakan posisi PNA dalam krisis itu.

Dalam konteks yang sama, semua faksi Palestina telah berkomitmen pada satu kebijakan netral dan tidak mengeluarkan pernyataan terbuka mengenai sikap mereka mengenai perkembangan dalam krisis Teluk, termasuk Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) --yang para pemimpinnya sekarang menetap di luar Doha.

Ketua Biro Politik Hamas Ismail Haneya mengatakan saat percakapan telepon dengan Presiden Sudan Omar Al-Bashir pekan lalu, bahwa pertikaian antara negara Arab dan Islam "tidak menarik perhatian Palestina".

Muhannad Abdul Hamid, pengulas dan penulis politik Palestina, mengatakan kepada Xinhua bahwa kriteria penting untuk memutuskan posisi dalam konflik Teluk saat ini "adalah posisi negara-negara ini bagi konflik Palestina-Israel dan dukungan bagi persatuan, dan perjuangan rakyat Palestina melawan Israel.

"Situasi di Dunia Arab menempatkan masalah Palestina di sisi kepentingan resmi Arab, tapi penanganan ancaman teror dan ancaman Iran sebagai prioritas, posisi yang sejalan dengan pendirian dan posisi Israel," kata Abdul Hamid. (Uu.C003)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017