Markas Besar PBB, New York (ANTARA News) - Dewan Keamanan PBB diperkirakan pada awal minggu depan sudah dapat melakukan voting (pemungutan suara) mengesahkan resolusi soal pembentukan pengadilan khusus di Lebanon untuk mengadili para pelaku pembunuhan mantan perdana menteri Lebanon, Rafik Hariri. Sementara itu, Amerika Serikat menyatakan harapannya agar Indonesia --sebagai salah satu negara anggota tidak tetap DK-PBB-- akan memberikan suara `setuju` terhadap pengesahan resolusi itu . "Kami harapkan minggu depan sudah akan voting," kata Dubes AS untuk PBB Zalmay Khalilzad kepada pers usai sidang Dewan Keamanan di Markas PBB, New York, Jumat, yang antara lain membahas rancangan resolusi soal pengadilan di Lebanon. Khalilzad, yang negaranya sedang menjabat sebagai presiden DK-PBB untuk bulan Mei, tidak merinci kepastian tanggal voting dan hanya menyebutkan `awal minggu depan`. Banyak pihak memperkirakan bahwa pemungutan suara baru akan berlangsung pada Selasa (29/5) selain karena Senin adalah hari libur di AS (Memorial Day), pada Selasa juga telah dijadwalkan sidang Dewan Keamanan yang akan membahas masalah Timur Tengah. Amerika Serikat berharap para anggota Dewan Keamanan yang berjumlah 15 negara, termasuk Indonesia, akan menyatakan setuju meloloskan resolusi tersebut. "Kami berharap akan setuju, tapi tentunya itu hak penuh Indonesia dan kami akan menghormati keputusan apa pun yang dibuat Indonesia," kata Dubes Zalmay Khalilzad dalam wawancara dengan ANTARA News-New York, Jumat. Khalilzad berargumentasi bahwa PBB perlu segera mengeluarkan resolusi soal pembentukan pengadilan khusus di Lebanon karena selain memenuhi permintaan PM Lebanon Fuad Seniora agar para pembunuh Hariri segera diadili, pengadilan itu juga penting untuk menghalangi aksi-aksi serupa, termasuk pembunuhan motif politik, terjadi lagi pada masa depan. "Para pembunuh tidak boleh dibiarkan bebas. Penegakan keadilan akan membantu terciptanya rekonsiliasi nasional," ujarnya. Beberapa negara anggota PBB, termasuk Indonesia, Rusia, Afrika Selatan dan Qatar, masih menunjukkan keberatan terhadap adanya resolusi tentang pembentukan pengadilan di Lebanon, terutama karena ingin menghindarkan Dewan Keamanan mengambil alih proses hukum secara konstitusional, yang merupakan kewenangan parlemen Lebanon. Pengadilan khusus tentang pembunuhan Hariri sendiri sudah dibentuk melalui perjanjian bilateral antara PBB dan Pemerintah Lebanon pada 23 Januari dan 6 Februari 2007. Pembentukan pengadilan itu sendiri akan berlaku jika sudah diratifikasi oleh Parlemen Lebanon namun karena terjadi jalan buntu, Perdana Menteri Siniora telah mengirim surat yang meminta Dewan Keamanan membantu menetapkan masa berlaku pengadilan tersebut. Namun ternyata, pada saat yang hampir bersamaan, PBB juga menerima surat dari Presiden Lebanon Emil Lahoud yang justru menolak campur tangan Dewan Keamanan dalam menentukan masa berlaku pengadilan dengan alasan hal itu merupakan masalah konstitusional dalam negeri. Lahoud juga mengingatkan bahwa campur tangan DK justru akan dapat memicu destabilasi di negara yang saat ini menghadapi masalah rekonsiliasi di antara berbagai pihak. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007