Jakarta (ANTARA News) - Tim Indonesia Bangkit (TIB) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyelidiki kredibilitas dan independensi Badan Pusat Statistik (BPS). "Kami meminta DPR untuk membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki kredibilitas dan independensi BPS. Kami juga mendesak, agar DPR melakukan amandemen terhadap UU Statistik, agar BPS betul-betul menjadi lembaga yang independen dan kredibel," kata Ekonom TIB, Hendri Saparini, dalam kunjungan Komisi XI DPR dengan TIB di Jakarta, Senin. Dalam acara yang dipimpin Ketua Komisi XI DPR, Awal Kusumah, hadir pula ekonom TIB lainnya, M. Fadhil Hasan, Ichsanuddin Noersy, dan Iman Sugema. TIB menilai BPS saat ini belum memenuhi kriteria independen dan kredibel. Ada beberapa fakta yang mendasari penilaian tersebut antara lain keharusan BPS berkoordinasi dengan Menteri Perencanaan Pembangunan dan kredibilitas angka statistik yang meragukan. Kredibilitas angka statistik yang meragukan antara lain menyangkut pengukuran inflasi yang tidak akurat dan kejanggalan data pengangguran. TIB menilai, ketidakakuratan BPS dalam menghitung inflasi bermula pada kontradiksi antara data inflasi yang dilaporkan BPS dengan fakta kenaikan harga kebutuhan pokok di lapangan, terutama beras. Pada periode Januari-Maret 2007, harga eceran beras medium meningkat 8,3 persen, namun inflasi yang tercatat oleh BPS hanya 1,9 persen. "Memang benar harga beras bukan satu-satunya penentu inflasi, tapi bobot beras dalam keranjang belanja masyarakat adalah paling besar. Kenaikan harga beras juga praktis memicu kenaikan harga bahan non makanan dan makanan lainnya seperti gula, sayuran, makanan, dan lainnya," kata Hendri. Menurut TIB, salah satu penyebab perbedaan antara laporan BPS dengan fakta adalah cara memotret fakta terutama penentuan bobot perhitungan yang tidak akurat. Dari hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002, bobot beras dalam pengeluaran rumah tangga cukup besar yaitu rata-rata sebesar 12 persen (kelompok miskin 24 persen dan near poor 12 persen). Bahkan dari hasil Susenas 2002 di wilayah studi ADB dan BPS (maret 2006), kabupaten pedesaan, komponen beras untuk kelompok miskin bisa mencapai 28 persen. Namun, perhitungan inflasi yang dilakukan saat ini, faktor pembobot termasuk beras tidak didasarkna pada hasil Susenas tetapi menggunakan Survei Biaya Hidup (SBH) 2002. "Karena perhitungan inflasi didasarkan pada survei biaya hidup, maka bobot beras dan kebutuhan pokok lainnya dalam perhitungan inflasi menjadi sangat rendah," katanya. Sementara itu, katanya, kejanggalan data pengangguran antara lain didasarkan pada adanya peningkatan drastis pada rasio penciptaan lapangan kerja terhadap angka pertumbuhan ekonomi, peningkatan drrastis pada pekerja sektor informal sektor pertanian. Selain itu juga, ia mengemukakan, peningkatan drastis orang yang tidak tergolong angkatan kerja, dan adanya penambahan definisi pekerja bagi orang yang bekerja walaupun tidak digaji atau pendapatannya tidak mencukupi kebutuhan dasarnya. Ketua Komisi XI DPR, Awal Kusumah, mengatakan bahwa pihaknya mengakui bahwa data-data BPS merupakan indikator utama yang digunakan untuk mengevaluasi berbagai upaya peningkatan kegiatan ekonomi. "Kita ingin BPS menyuguhkan data akurat, data yang salah akan menyebabkan terapi yang salah. Karena itu, kita dorong BPS melakukan perbaikan," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007