Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan institusi yang independen dalam melakukan berbagai koleksi data baik menyangkut sampel maupun berbagai hal lainnya. "BPS tetap badan yang independen dalam melakukan berbagai koleksi data, baik dari penentuan sampel maupun dari berbagai hal lainnya," kata Sri Mulyani di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa. Ia menyebutkan, mengenai kebutuhan anggaran, memang pemerintah selalu menyediakan sesuai kebutuhan BPS dalam rangka meningkatkan jumlah sampel agar data yang terhimpun lebih representatif. "Tapi itu tidak berarti pemerintah minta angka kepada BPS. Kami tidak pesan angka, BPS tetap badan yang independen dalam melaksanakan tugas dan fungsinya," tegas Menkeu. Sebelumnya Tim Indonesia Bangkit (TIB) meminta DPR untuk menyelidiki kredibilitas dan independens BPS. TIB menilai BPS saat ini belum memenuhi kriteria independen dan kredibel. Ada beberapa fakta yang mendasari penilaian tersebut antara lain keharusan BPS berkoordinasi dengan Menteri Perencanaan Pembangunan dan kredibilitas angka statistik yang meragukan. Kredibilitas angka statistik yang meragukan antara lain menyangkut pengukuran inflasi yang tidak akurat dan kejanggalan data pengangguran. TIB menilai, ketidakakuratan BPS dalam menghitung inflasi bermula pada kontradiksi antara data inflasi yang dilaporkan BPS dengan fakta kenaikan harga kebutuhan pokok di lapangan, terutama beras. Pada periode Januari-Maret 2007, harga eceran beras medium meningkat 8,3 persen, namun inflasi yang tercatat oleh BPS hanya 1,9 persen. "Memang benar harga beras bukan satu-satunya penentu inflasi, tapi bobot beras dalam keranjang belanja masyarakat adalah paling besar. Kenaikan harga beras juga praktis memicu kenaikan harga bahan non makanan dan makanan lainnya seperti gula, sayuran, makanan, dan lainnya," kata ekonom TIB Hendri. Menurut TIB, salah satu penyebab perbedaan antara laporan BPS dengan fakta adalah cara memotret fakta terutama penentuan bobot perhitungan yang tidak akurat. Dari hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002, bobot beras dalam pengeluaran rumah tangga cukup besar yaitu rata-rata sebesar 12 persen (kelompok miskin 24 persen dan near poor 12 persen). Bahkan dari hasil Susenas 2002 di wilayah studi ADB dan BPS (maret 2006), kabupaten pedesaan, komponen beras untuk kelompok miskin bisa mencapai 28 persen. Namun perhitungan inflasi yang dilakukan saat ini, faktor pembobot termasuk beras tidak didasarkna pada hasil Susenas tetapi menggunakan survey biaya hidup (SBH) 2002. "Karena perhitungan inflasi didasarkan pada survey biaya hidup maka bobot beras dan kebutuhan pokok lainnya dalam perhitungan inflasi menjadi sangat rendah," katanya. Sementara itu, kejanggalan data pengangguran antara lain didasarkan pada antara lain adanya peningkatan drastis pada rasio penciptaan lapangan kerja terhadap angka pertumbuhan ekonomi, peningkatan drrastis pada pekerja sektor informal sektor pertanian. Selain itu juga peningkatan drastis orang yang tidak tergolong angkatan kerja, dan adanya penambahan definisi pekerja bagi orang yang bekerja walaupun tidak digaji atau pendapatannya tidak mencukupi kebutuhan dasarnya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007