Kupang (ANTARA News) - Dua puluh enam anak muda peserta sekolah musim panas dari Amerika Serikat, Uganda, Jepang, dan Prancis serta Indonesia mempelajari  toleransi dalam keberagaman di Timor dan Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sekolah musim panas itu diselenggarakan oleh Nusantara School of Difference bekerja sama dengan organisasi sosial Community Engaging with Difference and Religion (CEDAR) yang berpusat di Amerika Serikat dan Institute Resource Governance and Social Change (IRGSC) yang berpusat di Kupang.

Pemimpin CEDAR Prof Adam Seligman di Kupang, Kamis, menjelaskan, kegiatan bersama itu berlangsung dua pekan dari 27 Juli hingga 9 Agustus 2017.

Kata Seligman, program pembelajaran itu akan menjadi salah satu dasar untuk mengembangkan program-program lainnya bukan hanya di NTT tetapi juga di seluruh Asia Tenggara, Asia Timur, dan lebih luas lagi.

"Bersama-sama dengan rekan-rekan dari Jepang, Uganda, dan Amerika Serikat, serta rekan-rekan dan staf dari Indonesia, kami telah mengembangkan sebuah model untuk hidup dengan dan belajar dari perbedaan-perbedaan yang akan menginspirasi komunitas-komunitas di seluruh dunia," katanya.

Dalam kegiatan bertema Past Continuous: Rethinking Colonial History itu, para peserta melihat kembali pengaruh kolonialisme terhadap dinamika identitas, relasi mayoritas-minoritas, ketegangan dalam relasi intra-Nasrani, serta berbagai persoalan lain seperti pemahaman tentang gender, serta keberadaan masyarakat adat di Pulau Timor dan Flores.

Pendeta Leny Mansopu dari Jemaat GMIT Tamariska Maulafa mengatakan program ini mengajarkan tentang keberagaman yang nyata. Ia mengatakan bahwa perbedaan agama, kebangsaan, etnis dan lain-lain adalah kenyataan, sementara konsep keberagaman seringkali hanya berupa ide besar.

"Karena kita pahami satu sama lain hanya dari pandangan kita, bukan dari apa yang nyata dari nilai-nilai orang lain. Lewat program ini kami menerima keberagaman orang lain tanpa kehilangan nilai-nilai kami sendiri sebagai orang beragama karena kita menyadari bahwa kita beragama dan kita harus hidup dengan hal itu," tambah Leny

Selama program itu, peserta antara lain menyinggahi Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan Kabupaten Sikka.

Koordinator Nusantara School of Difference Dominggus Elcid Li mengatakan ada tiga komponen penting dalam kegiatan sekolah musim panas itu, termasuk di antaranya pemberian materi kuliah dari berbagai ahli di bidangnya seperti dari Dr Mery Kolimon tentang korban 1965, Dr Philipus Tule tentang konversi dan pernikahan beda agama serta Dr Emmanuel Subangun tentang dinamika orang beragama di Indonesia.

Kegiatan itu mendapatkan dukungan penuh dari institusi keagamaan dan pemerintah setempat, termasuk Sinode GMIT, Keuskupan Agung Kupang, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pewarta: Yohanes Adrianus
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017