New York (ANTARA News) - Berbeda dengan keinginan Amerika Serikat, Indonesia memilih abstain dalam pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB pada Rabu, yang mengesahkan Resolusi 1757 tentang pemberlakuan pengadilan khusus di Lebanon mulai 10 Juni 2007 untuk mengadili para tersangka pelaku pembunuhan mantan perdana menteri Lebanon, Rafik Hariri. Salah satu keberatan utama Indonesia, seperti yang disampaikan Oleh Deputi Wakil Tetap RI untuk PBB Hasan Kleib dalam sidang Dewan Keamanan, adalah penggunaan Bab 7 Piagam PBB dalam resolusi tersebut. Aspek hukum menyangkut Bab 7 Piagam PBB itu juga yang menjadi alasan utama negara-negara lainnya, yaitu Rusia, China, Afrika Selatan menyatakan abstain seperti Indonesia dalam pemungutan suara di DK-PBB. Bab 7 Piagam PBB adalah aturan PBB yang memberikan kewenangan kepada Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan jika terjadi ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Indonesia, Rusia, China, Afrika Selatan dan Qatar menganggap bahwa penentuan pemberlakuan pengadilan khusus di Lebanon adalah masalah domestik. Menurut Hasan, penggunaan Chapter 7 untuk kasus Lebanon merupakan preseden(contoh buruk ) bagi hukum internasional karena Dewan Keamanan memaksakan waktu pemberlakuan pengadilan, padahal di Lebanon sendiri belum ada kesepakatan untuk meratifikasi perjanjian, Pengadilan itu sendiri sudah dibentuk berdasarkan perjanjian bilateral PBB dan Lebanon pada 23 Januari dan 6 Februari 2007. Hasan menggambarkan situasi yang sama bisa saja terjadi pada Indonesia atau negara mana pun yang memiliki perjanjian dengan PBB atau organisasi internasional. "Perjanjian itu mau kita ratifikasi, tapi ada masalah di dalam negeri karena belum sepakat, masih berunding. Kemudian ada pihak yang ingin cepat-cepat, dan membawanya ke PBB, lalu Dewan Keamanan menggunakan Bab 7 Piagam PBB, yang seharusnya diterapkan untuk ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional, bukan masalah domestik. Ya seperti itu," kata Hasan kepada ANTARA. Dalam sidang DK-PBB pada Rabu, Hasan menyampaikan argumentasi Indonesia dengan mengutip Pasal 2 ayat 7 Piagam PBB yang menekankan bahwa PBB tidak boleh campur tangan masalah dalam negeri. Indonesia juga melihat bahwa resolusi telah mengubah aturan hukum yang ditetapkan oleh Pasal 19 perjanjian PBB-Lebanon bahwa perjanjian akan diberlakukan setelah Pemerintah Lebanon memberitahukan kepada PBB bahwa syarat-syarat hukum di dalam negeri untuk memberlakukannya sudah tercapai. "Dewan Keamanan harus melihat bahwa (saat ini) belum ada kesatuan suara di antara para pemimpin Lebanon," kata Hasan Kleib. Indonesia maupun empat negara lainnya yang menyatakan abstain menekankan bahwa mereka sangat setuju bahwa tidak boleh ada pihak mana pun yang kebal hukum dalam pembunuhan Rafik Hariri dan pembunuhan lainnya, namun tidak dengan menggunakan Bab 7 Piagam PBB. "Indonesia berkomitmen mendukung upaya mencapai kebenaran dan keadilan serta siap memberikan sumbangan konstruktif bagi upaya memajukan perdamaian dan stabilitas di Lebanon," kata Hasan. Sementara Rusia, salah satu anggota permanen selain China, AS, Perancis dan Inggris, mengatakan bahwa Dewan Keamanan tidak boleh hanya mengakomodasi atau menerima baik surat PM Lebanon Fuad Siniora saja --yang meminta DK memberlakukan pengadilan khusus, tapi juga surat yang isinya bertentangan dari Presiden Lebanon Emil Lahoud. Surat Presiden Lebanon itu juga mengingatkan bahwa pemberlakukan oleh Dewan Keamanan justru akan memicu ketidakstabilan di dalam negeri Lebanon. "Pengadilan itu dibentuk untuk Lebanon. Karenanya penting untuk mendengarkan pandangan dari semua pihak di Lebanon tentang masalah kritis seperti ini," kata Wakil Tetap Rusia untuk PBB, Vitaly Churkin. Sebelumnya dalam wawancara dengan ANTARA pekan lalu, Wakil Tetap Amerika Serikat untuk PBB, Dubes Zalmay Khalilzad, menyatakan harapannya agar Indonesia dan negara-negara anggota Dewan Keamanan lainnya menyetujui pengesahan resolusi. Menurut Zalmay Khalilzad , PM Siniora telah mengambil risiko yang sangat tinggi dengan mengajukan permintaan kepada Dewan Keamanan untuk memberlakukan pengadilan Hariri setelah terjadi jalan buntu di parlemen Lebanon untuk meratifikasi perjanjian bilateral PBB-Lebanon. "Kita tidak boleh mengecewakannya, negara ini (Lebanon, red) minta tolong untuk dibantu...Risiko melakukan aksi lebih besar dari pada tidak melakukannya," ujar Khalilzad. AS pertanyakan Indonesia Ia mempertanyakan posisi Indonesia dan negara-negara lain yang keberatan tentang keputusan oleh Dewan Keamanan tentang pemberlakuan pengadilan Hariri. "Sebagai masyarakat internasional kita tidak bisa mengatakan `kami menganggap (masalah ini) serius` tapi kemudian tidak membantu negara yang ingin mengadili para pelaku pembunuhan. Apa alasan rasional untuk itu," katanya setengah bertanya. Khalilzad juga menepis anggapan bahwa Dewan Keamanan mengambil alih kewenangan pemberlakukan pengadilan khusus dari Lebanon. "Kita bisa saja membentuk pengadilan, pengadilan internasional, pengadilan internasional yang independen, tapi tidak. Tetap berdasarkan perjanjian yang telah disetujui Lebanon. Kita (hanya) memulai pelaksanaannya, memberikan dorongan untuk memulainya. Ini (hanya) langkah pertama," ujar Dubes AS itu. Menurut diplomat AS itu , pelaksanaan pengadilan itu sendiri baru bisa dimulai dalam jangka waktu satu tahun karena segala sesuatu masih harus ditentukan, seperti tempat pelaksanaan dan siapa saja hakim yang akan ditunjuk untuk mengadili. Ia juga mencatat bahwa Presiden Emil Lahoud adalah sosok yang termasuk berada di dalam kabinet Lebanon saat pemerintah Lebanon dan PBB menyepakati pembentukan pengadilan khusus untuk Lebanon. AS, ujar Khalilzad, justru beranggapan bahwa pemberlakuan pengadilan khusus akan membantu terciptanya stabilitas dan rekonsiliasi di Lebanon. "Untuk kepentingan stabilitas di Lebanon, sangat penting untuk membawa mereka yang melakukan kejahatan-kejahatan, pembunuhan politis, yang bukan hanya masalah Lebanon tapi juga lebih luas, ke meja hijau agar kejadian serupa tidak terjadi lagi," katanya. (*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007