Jakarta (ANTARA News) - Industri manufaktur nasional semakin memperlihatkan kinerja yang positif, dengan naiknya indeks manajer pembelian atau purchasing manager index (PMI) Indonesia dari 48,6 pada Juli menjadi 50,7 periode Agustus 2017 yang dirilis oleh Nikkei dan Markit. 




PMI di atas 50 menandakan manufaktur ekspansif, sedangkan di bawah 50 menunjukkan manufaktur kontraksi.




“Momentum baik seperti ini harus terus dijaga bersama dan semestinya makin ditingkatkan,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto lewat keterangannya di Jakarta, Rabu.

 

Airlangga menilai kenaikan indeks manufaktur tidak hanya didorong oleh penguatan permintaan, tetapi juga karena mengalirnya realisasi investasi dan meningkatnya utilisasi di sektor industri.




Oleh karena itu, Airlangga berpendapat perlu koordinasi sektoral yang kuat untuk memacu laju pertumbuhan industri manufaktur nasional. Faktor penentu ekspansi tersebut, antara lain ketersediaan bahan baku dan harga energi yang terjangkau. 




“Makanya pemerintah melakukan harmonisasi regulasi agar seluruh pelaku industri dalam negeri mendapat kemudahan berusaha,” tuturnya.

 

Terlebih, menurut Airlangga, peringkat nilai tambah manufaktur Indonesia  juga tengah terangkat di antara negara-negara G20.




Berdasarkan data United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) dalam penilaian manufacturing value added, juga mencatatkan Indonesia berhasil masuk peringkat 10 besar dunia, melewati capaian Meksiko dan Spanyol, bahkan di atas Inggris dan Rusia.

 

“Tahun ini, Indonesia diproyeksi menduduki posisi ke-9 di dunia. Untuk itu diperlukan langkah sinergi dengan stakeholders untuk mewujudkan kinerja industri nasional tetap dapat tumbuh dan meningkat di periode berikutnya. Apalagi, industri manufaktur yang dilihat basisnya adalah nilai tambah,” paparnya.

 

Dalam hal ini, kebijakan prioritas yang tengah dijalankan Kemenperin, di antaranya pengembangan industri berbasis sumber daya alam melalui hilirisasi, meningkatkan daya saing dan produktivitas industri padat karya berorientasi ekspor, serta memacu kompetensi sumber daya manusia industri.

 

Ekonom IHS Markit Pollyanna De Lima menyatakan kondisi bisnis di Indonesia semakin membaik memasuki kuartal III ini, seiring naiknya permintaan domestik dan ekspor. 




“Bangkitnya kinerja pada Agustus membuat keyakinan pebisnis terhadap prospek ke depan meningkat,” ujarnya.

 

Menurutnya, kenaikan permintaan ekspor pada Agustus merupakan salah satu periode kenaikan paling pesat yang terjadi pada 6,5 tahun terakhir. 




Pabrikan banyak mengeksekusi pembelian bahan baku dalam kuantitas yang lebih besar dibandingkan dengan beberapa bulan sebelumnya.

 

Sementara itu, Nikkei menghitung PMI berdasarkan survei bulanan kepada lebih dari 300 perusahaan besar. 




Responden berasal dari delapan bidang usaha, yakni industri logam, plastik dan kimia, listrik, makanan dan minuman, mesin, tekstil dan pakaian, kertas, karet, serta transportasi.

 

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2017 defisit sekitar 271,2 juta dollar AS. 




Nilai ekspor Indonesia pada bulan ketujuh ini tercatat sebesar 13,62 miliar dollar AS. Angka ini lebih rendah dibanding realisasi impor yang mencapai 13,89 miliar dollar AS.

 

“Penyebab defisit di Juli karena terjadi kenaikan impor bahan baku dan bahan penolong atau barang modal yang cukup tinggi setelah Lebaran hingga 39 persen (Juli dibanding Juni 2017). Namun impor ini diharapkan dapat menggerakkan industri sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi,” jelas Kepala BPS Suhariyanto, beberapa waktu lalu.

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017