Oleh Bob Widyahartono MA *) Jakarta (ANTARA News) - Regionalisme Asia Timur makin hari makin menjadi suatu gagasan yang memiliki daya tarik, terutama di kalangan masyarakat Asia Timur yang peduli pada kemajuan rakyatnya dalam mencapai "damai, harmoni dan sejahtera". Dalam pemahaman yang populer, regionalisme ekonomi adalah suatu kecenderungan yang dianut sekelompok perekonomian regional secara geografis untuk mencapai integrasi ekonomi kawasan (regional). Jelas, perkembangan kearah regionalisme lebih memiliki daya pikat untuk realisasi dalam abad 21 yang merupakan abad Asia. Tanpa menyebut berbagai kegagalan setiap pertemuan tingkat tinggi multilateral, bahkan yang belakangan ini G-8, sejak Plaza Accord 1985 mengalami distorsi kesepakatan visi bersama awalnya G-4 menjadi G-7 ke G-8. Itulah contohnya, bagaimana semakin nyata Amerika Serikat (AS) yang didukung oleh Inggris memaksakan dominasinya dengan menunda-nunda agenda rapat utama pemanasan global (global warming) yang sejak Protokol Kyoto belum juga diterima AS. Jadinya, pertemuan tingkat tinggi G-8 di Heiligendamm, Jerman Barat, pun diluar tempat sidang didemo oleh kelompok aktivis Eropa dan AS maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dunia yang dimotori para intelektual, sebagian kecil Inggris dan Asia makin membuat G-8 kehilangan arah. Posisi Jepang sebagai satu-satunya negara Asia di G-8 juga terlihat jadi makin rikuh atau terombang ambing. Yoichi Funabashi sudah satu setengah dasawarsa lalu dalam makalah "Asianisation of Asia" (1993) sebagai seorang pengamat yang memiliki visi yang terhitung cemerlang mengungkapkan sebagai berikut: "Akhirnya Asia mulai mendefinisikan dirinya. Kesadaran dan identitas Asia makin mencuat dalam kehidupan Kesadaran Asia diwujudkan oleh pragmatisme sehari-hari, kebangkitan sosial suatu kelas menengah dan barisan teknolokrat yang sadar ke-Asia-an mereka." Argumentasinya, walaupun satu dasawarsa lalu, bukanlah suatu sikap defensif terhadap kebarat-baratan. Hal yang dimaksudkannya sebagai Asia adalah Asia Timur sama dengan "ASEAN Plus Three" atau sepuluh negara anggota Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Kamboja ditambah Jepang, China dan Korea Selatan. Kalangan elite di Indonesia dalam "main stream", syukurlah, baru awal 2000an mulai melakukan pencerahan pikiran diri. Oleh karena itu, elite di negeri ini sepatutnya makin menyadari bahwa keteguhan sikap terhadap nilai-nilai dan atau etika Asia Timur harus diartikan sebagai tanggapan terhadap pemaksaan sikap universalitas nernagai nilai Barat, terutama Amerika, seperti "globalisasi ekonomi", "demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia/HAM" versi AS. Perjalanan bangsa Asia Timur masih jauh dan penuh tantangan, serta tentangan tidak saja dari Barat, khususnya AS, tetapi banyak elite bangsa Asia sendiri yang kebarat-baratan dan sudah menikmati kemakmuran (affluence) dan kesenangan (leisure). Tantangan kini perlu sikap yang lebih mendewasa terhadap regionaisme Asia Timur, bersama sama kita membangun "dunia yang lain yang layak" (another world is possible) dalam arti "sistem ekonomi yang lebih bersifat partisipatif" (misi WSF=World Social Forum yang bukan World Economic Forum). Dan, ide baru ini lebih wajar dibangun melalui regionalisme dan untuk Asia Timur, regionalisme Asia Timur. Bagi negeroi ini penting memberdayakan secara tulus "the demand side of the economy" melalui Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi (UKMK) yang menjadi pilar demokrasi ekonomi. Soalnya, ketika dihadapkan dengan ajakan atau tantangan "membangun dunia yang lain yang layak" itu, pertanyaannya seberapa solidnya ekonomi Asia Timur tahun 2004 sebagai suatu keseluruhan (as a whole) sebagai titik awalnya? Makin meningkatnya pertumbuhan tersebut digerakkan oleh perluasan ekonomi Cina yang makin kuat, bangkitnya beberapa Negara Industri Baru Asia, dan percepatan pertumbuhan ASEAN 5 (Thailand, Malaysia, Indonesia, Filipina dan Vietnam) merupakan modal tersendiri. Tingkat pertumbuhan Asia Timur secara keseluruhan untuk tahun 2007 adalah sekitar 6 persen. Prediksi ekonomi Asia Timur 2007 dilandasi beberapa dasar pendapat: industri elektronik dan elektrik akan memasuki tahapan peningkatan mutu dan perluasan, yang memang awalnya dipelopori pasaran negara-negara maju, AS, Uni Eropa (UE) dan Jepang. Industri teknologi informasi merupakan daya geraknya unik yang menjalar ke negara-negara Asia Timur. Tidak dapat disangkal bahwa ekonomi AS akan mencapai pertumbuhan sebesar 2,0%, sekalipun masih mengalami defisit kembar (defisit fiskal dan defisit neraca pembayaran) dan tingkat pengangguran yang cukup besar, sementara ekonomi Jepang berada pada tingkat pertumbuhan sekitar 1,7-2,0%, demikian pula ekonomi UE sekitar 2,5%. Adanya tingkat pertumbuhan yang positif negara negara maju tersebut ikut menggerakkan pertumbuhan negara negara Asia Timur. Dalam 2007 ada keempat Ekonomi Industri Baru (Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura) akan diuntungkan oleh kebangkitan dalam konsumsi, selain itu perluasan dalam investasi. Demikian pula ASEAN 5 yang terdiri atas Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia dan Filipina diharapkan dapat terus menikmati kenaikan dalam ekspor dan investasi. China yang secara spektakuler melakukan ekspansi ekonomi dengan gebrakan terbukanya investasi juga sampai di kawasan barat dan pusat dengan dukungan pembangunan infrastruktur manusia dan fisik akan ikut menikmati pertumbuhan ekonominya sambil secara bertahap menekan tingkat pengangguran. Bangsa Asia Timur tetap memiliki kapasitas luar biasa sebagai kawasan yang boleh disebut sebagai "innovation friendly", terutama dalam dasawarsa mendatang. Dari segi modal manusia (human capital), parameter apa saja yang membuktikan "daya gerak" yang belum sepenuhnya mencuat yang tetap membutuhkan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). SDM tersebut meliputi: 1. Hasrat untuk berprestasi dan kemauan dasar untuk belajar sebagai proses; 2. Tumbuhnya penduduk dengan penyebaran, 3. Keinginan kuat untuk menyerap kemajuan teknologi tepat guna dan daya inovasi, sebagai mesin pertumbuhan ekonomi; 4. Kemauan melakukan reformasi kebijakan ekonom , yang sesuai kebutuhan dan merupakan sarana sukses; 5. Jaringan kerja atas dasar saling percaya; 5. Peranan nyata lembaga pemerintahan untuk menerapkan "good governance", yang bukan pameran. Regionalisme ekonomi Asia Timur tidak bisa terwujud kalau sikap perilaku "quick fix" SDM. Jelas yang dibutuhkan SDM yang berbudaya kerja keras dan cerdas dalam kebersamaan ketegasan jadwal waktu (time line) masing masing pelaku pemerintahan dan bisnis demi kawasan Asia Timur. "Damai, harmoni dan sejahtera" (peace, harmony and prosperity) mendayung maju mengisi abad 21 yang menjadi abadnya Asia yang mulai awal 2015-an diharapkan yang memberi harapan riil tanpa arogansi budaya Barat model AS, untuk bangsa Asia dengan Pasaran Bersama ASEAN ke Asia Timur. (*) *) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net,id) adalah pengamat ekonomi/bisnis Asia; Dosen/Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) di Jakarta.

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007