Jakarta (ANTARA News) - Kuasa hukum ExxonMobil Indonesia menilai Amien Rais dan kawan-kawan yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Penyelamat Blok Cepu (GRPBC), tidak memiliki kapasitas mengajukan gugatan pembatalan Kontrak Kerja Sama (KKS) pengelolaan Blok Cepu. Dalam jawaban gugatan yang diserahkan pada sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin, kuasa hukum ExxonMobil Fredrik J Pinakunary menyatakan, Amien Rais dan kawan-kawan sebagai warga negara telah terwakili kepentingan dan haknya oleh pemerintah yang menandatangani KKS tersebut. "Penggugat tidak memiliki kualitas untuk mengajukan gugatan ini, karena kepentingannya telah diwakili oleh pemerintah," ujarnya. Jika setiap warga negara bisa melayangkan gugatan terhadap setiap kebijakan yang diambil pemerintah, lanjut Frederik, maka dapat dibayangkan banyaknya gugatan terhadap pemerintah yang akan masuk ke pengadilan. Selain mempersoalkan kualitas para penggugat, pihak Exxonmobil juga menilai gugatan yang diajukan salah alamat karena pihak Exxon sebagai operator pengelola Blok Cepu tidak terlibat dalam proses pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Frederik menilai gugatan yang diajukan GRPBC bersifat kabur karena menyatakan perbuatan melawan hukum dalam dalil gugatannya (posita), namun penggugat tidak menjabarkan dan merinci perbuatan melawan hukum yang didalilkan oleh penggugat. "Pada dasarnya, kita menolak semua dalil penggugat," ujarnya. Selain Exxonmobil, para tergugat lain, yang terdiri atas Pemerintah cq Presiden cq Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Pertamina, BP Migas serta Kementerian BUMN, juga menyerahkan jawaban. Mantan Ketua MPR Amien Rais, bersama dengan Kwik Kian Gie, Wakil Ketua DPD Laode Ida, Anggota DPD Marwan Batubara, Anggota DPR Drajad Wibowo dan Alvin Lie, tergabung dalam 110 penggugat yang menamakan diri mereka Gerakan Rakyat Penyelamat Blok Cepu (GRPBC). Dalam gugatannya, GRPBC menilai kesepakatan Blok Cepu mengandung sejumlah permasalahan hukum yang terjadi sejak proses penunjukkan kontraktor Blok Cepu yaitu Humpuss Patragas (HPG), yang berlanjut kepada pengalihan saham HPG kepada Exxon mobil, hingga perubahan kontrak Technical Assistance Contract (TAC) menjadi Production Sharing Contract (PSC) atau Kontrak Kerjasama (KKS). Mereka menilai KKS Blok Cepu telah melanggar hukum asas kepatutan dan kepentingan umum. KKS itu, menurut mereka, juga dilakukan dengan melanggar beberapa peraturan perundang-undangan, sehingga harus dinyatakan cacat hukum dan batal demi hukum. Penggugat menilai KKS itu tidak memuat ketentuan-ketentuan minimum yang disyaratkan oleh pasal 11 UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, yang mengharuskan adanya pengelolaan lingkungan hidup, pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat. KKS itu juga dinilai telah melanggar ketentuan pasal 38 PP No 35 Tahun 2004 yang menyatakan KKS harus tunduk pada hukum Indonesia. KKS Blok Cepu juga dinilai telah melanggar pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan syarat sahnya suatu perjanjian antara lain adalah adanya kesepakatan dan juga melanggar pasal 1339 yang menyatakan kesepakatan harus memenuhi asas kepatutan. Penggugat menilai KKS Blok Cepu telah melanggar asas kepatutan karena sesungguhnya dapat dioperasikan dengan mudah oleh Pertamina, tetapi Pemerintah justru memberikan hak pengelolaannya kepada Exxonmobil. GRPBC dalam gugatannya juga menyertakan dugaan praktik KKN dalam proses penunjukkan pengelola Blok Cepu, di antaranya amandemen TAC Blok Cepu pada 21 Maret 1997 yang menghapus aturan larangan pengalihan hak dan saham kepada pihak asing, yang dapat digolongkan sebagai manipulasi hukum. KKS Blok Cepu antara Exxonmobil dengan Pemerintah pada 17 September 2005, menurut GRPBC, merupakan hasil manipulasi hukum dan terindikasi praktik KKN karena satu pekan sebelumnya Pemerintah menerbitkan PP No 34 Tahun 2005 pada 10 September 2005 yang khusus memberi aturan pengecualian terhadap jangka waktu KKS. PP itu, menurut GRPBC, hanya merupakan bentuk akomodasi terhadap kepentingan Exxonmobil yang meminta jangka waktu kontrak pengelolaan selama 30 tahun. Selain menuntut pembatalan kontrak KKS Blok Cepu, GRPBC juga meminta agar para tergugat dinyatakan telah merugikan keuangan atau perekonomian negara. GRPBC juga meminta agar majelis hakim menetapkan hanya Pertamina atau perusahaan minyak nasional lainnya yang ditunjuk sebagai kontraktor dan operator Blok Cepu. Pada sidang sebelumnya, majelis hakim yang diketuai Muchfri dalam putusan sela memerintahkan pemeriksaan pokok perkara untuk membuktikan unsur perbuatan melawan hukum yang dituduhkan oleh penggugat kepada tergugat. Sidang ditunda hingga Senin, 25 Juni 2007 dengan agenda pembacaan replik dari penggugat.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007