Jakarta (ANTARA News) - Menulis puisi adalah salah satu hobi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dilakukan jauh sebelum dirinya menjadi orang nomor satu di negeri ini, namun bagi SBY untuk membacakan puisi di depan banyak orang ternyata jauh lebih berat dibanding pidato kenegaraan. "Membaca puisi buat saya lebih berat dari pidato kenegaraan," ujarnya seraya disambut tepuk tangan para penonton yang hadir dalam acara "Parade Puisi Kebangsaan Meniti Jejak Republik" di Jakarta, Kamis malam. Yudhoyono yang hadir bersama Ibu Ani Yudhoyono dalam kesempatan itu membacakan puisi berjudul "Harmoni tentang Kebebasan dan Kedamaian". Puisinya ini mengundang decak kagum penonton karena dibacakan tanpa teks dan merupakan improvisasinya di atas panggung. "Ini spontan saja, mengekspresikan hati saya mengenai harmoni tentang kebebasan dan kedamaian," ujarnya seraya membaca puisinya. Bait pertama puisinya berbunyi : "Terbanglah wahai kebebasan, Bersama angin dan burung camar di langit biru yang melambai dan terus melantunkan dendang dan salam rindu" Sementara di bagian akhir puisinya, Yudhoyono melukiskan indahnya senja yang beranjak malam : "Ketika saya menoleh ke belakang di senja temaram yang bergeser ke peraduan menyapa, memberi salam pada datangnya bulan dan bintang" Ketika berada di depan podium, Yudhoyono sebenarnya membawa sebuah buku kumpulan puisinya berjudul "Taman Kehidupan" yang dirilis pada 2004, namun akhirnya ia memilih membaca puisi dengan spontanitas. Yudhoyono membacakan puisinya tanpa tersendat, setiap kalimat puisi mengalir dengan lancar. Sorot matanya menatap ke arah kursi penonton. Dari bahasa tubuhnya, tidak tampak kesan grogi meski tampil di hadapan sejumlah seniman yang menurut dia lebih mahir membaca puisi, di antaranya Putu Wijaya, Butet Kartaredjasa, dan Sutardji Calzoum Bachri. "Saya hanya seorang penyair amatir yang ingin mengekspresikan SBY yang kadang sedih, senang, berbicara pada alam, dan berbicara pada masyarakat," ucapnya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007