Oleh Santoso Jakarta (ANTARA News) - Warga Dusun Watugedeg, Desa Donoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, mengenal Suharto (47) sebagai pedagang roti yang mengontrak salah satu rumah di daerah itu. Rumah yang ditempati Suharto terlihat sederhana karena lantainya belum disemen. Di depan rumah tersebut ada pekarangan dengan tanaman tebu, beberapa tanaman pelindung dan sejumlah tanaman bunga. Rumah itu juga agak terpencil letaknya karena agak jauh dari para tetangga dan jarak antara rumah dengan jalan utama desa mencapai 200 meter. Kini, rumah itu tampak lengang karena ditinggal penghuninya sejak Suharto ditangkap polisi Sabtu (9/6) lalu. "Sejak kemarin malam penghuni rumah sudah pergi, sedangkan ke mana perginya saya tidak tahu," kata Sumiati, warga Watugedeg, Ngaglik, Sleman. Menurut dia, rumah kontrakan tersebut dihuni oleh dua keluarga, yang salah satunya yang dikenal dengan nama Suharto. "Suharto ini pekerjaan sehari-harinya berdagang roti, kami tidak tahu kalau ia anggota teroris. Selama ini kami juga tidak kenal dekat dengan keluarga tersebut," katanya. Kabar penangkapan Suharto itu dengan cepat menyebar luas apalagi media massa dengan gencar memberitakan bahwa Suharto adalah bagian dari anak buah Abu Dujana, tersangka berbagai kasus terorisme. Masyarakat awalnya mengira jika Suharto hanyalah "orang kecil" dari jaringan Abu Dujana, karena melihat kesederhanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Siapa yang mengira Suharto ternyata adalah orang yang selama ini menjadi atasan langsung Abu Dujana, bahkan posisinya menempati urutan teratas dalam struktur organisasi yang mereka namakan Al Jamaah Al Islamiyah (JI). Bahkan, Abu Dujana adalah salah seorang dari empat anak buah Suharto. Kepolisian Negara RI (Polri) memang tidak menyebut nama Suharto sebagaimana dikenal warga Watugedeg, tapi namanya telah berubah menjadi Mbah. Tidak itu saja, Mbah juga memiliki nama lain, yakni Zarkarsih alias Zaenuddin, alias Irsjad, alias Oni, alias Nuaim. Kepala Satuan Tugas (Satgas) Anti-Teror Polri, Brigjen Pol Surya Darma Salim, mengatakan bahwa Mbah tersebut menduduki jabatan sebagai amir JI alias orang nomor satu di jajaran organisasi itu sejak 2004. JI pimpinan Mbah memiliki empat sayap, yakni pendidikan, dakwah, perbekalan dan militer. Sayap militer itu yang dipimpin oleh Abu Dujana. Sayap militer tersebut yang selama ini terlibat dalam berbagai aksi terorime di Indonesia, termasuk di Poso. Setiap sayap membawahi satu wilayah (ishobah). Tujuh orang yang ditangkap Polri, Maret 2007 dengan barang bukti aneka bahan peledak ini juga anak buah Abu Dujana yang sudah pasti anak buah Mbah juga. Saat memberikan keterangan pers soal penangkapan anak buah Abu Dujana di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu, Surya Darma mengatakan, bom Bali I yang menewaskan 200 orang akan terlampaui jika bom yang dibuat para anak buah Abu Dujana itu meledak. Ia menjelaskan, bom Bali I hanya mengandung 25 kilogram (kg) TNT, padahal dari para tersangka ini polisi menyita 45 kg "trinitrotuleune" (TNT). Ada 193 rangkaian detonator yang disita, padahal Bom Bali I hanya 17 rangkaian detonator saja. Selain itu, ditemukan 43 rangkaian sirkuit elektronik di rumah Sutarjo. "Satu rangkaian sirkuit elektronik saja bisa meledakkan gedung ini," kata Surya Darma dengan menunjuk gedung Makobrimob Polda Yogyakarta yang berlantai tiga. Tidak itu saja, polisi menduga bahwa para tersangka telah mempersiapkan bom yang akan diledakkan dengan sintesa bahan kimia. Dengan bahan kimia tersebut, maka efek ledakan akan lebih kuat dan dahyat dibandingkan dengan bom biasa. Polisi menyimpulkan hal itu setelah menemukan sodium azida, plumbun nitrat dan aneka cairan kimia lain di rumah salah satu tersangka di Grogol, Sukoharjo. Plumbun nitrat dan sodium azida jika disintensa akan menjadi senyawa lead azide untuk dijadikan "detoning bomb" (pemicu ledakan bom). Surya Darma menduga bahwa kelompok Abu Dujana ini telah memiliki laboratorium rahasia dalam ukuran mini untuk merangkai senyawa kimia yang berbahaya ini. "Meracik zat kimia berbahaya ini butuh keahlian khusus. Tidak semua orang bisa melakukan, apalagi mengolah bahan kimia berbahaya," katanya. Melihat kemampuan kelompok Abu Dujana maka jaringan ini bisa jadi lebih berbahaya sebab telah memiliki kemampuan yang "lebih hebat". Mbah diduga terlibat dalam pengiriman dan mengatur bahan peledak, senjata api baik yang ada di Pulau Jawa maupun di Poso, Sulawesi Tengah. "Ia juga mengendalikan seluruh operasi terorisme di Poso bahkan mengirim Abu Fatih untuk mengendalikan di Poso secara langsung," katanya. Abu Fatih kini masih buron dan diduga mengendalikan langsung berbagai ledakan bom di Poso. Selain itu Mbah juga menerima uang hasil rampokan milik Pemda Poso sebesar Rp480 juta untuk dipakai dalam peledakan bom di Poso. Polri mencatat bahwa Mbah ini pernah mengikuti pelatihan militer di camp Saddah, Pakistan, pada 1997. Ia cukup menonjol dalam latihan militer ini karena menduduki rangking kedua setelah Nasir Abbas. Nassir adalah mantantokoh JI yang kini sudah keluar, yang kini menulis buku soal JI di Indonesia. Mbah juga tidak salah menunjuk Abu Dujana memimpin sayap militer karena dia juga lulusan terbaik pelatihan militer di angkatan berikutnya. Pada 1998, Mbah menjadi instruktur di kamp Militer Mindanao, Filipina. Pada 2004 ia terpilih menjadi amir darurat JI menggantikan Andung. Selain itu dia pun menjadi ketua komisi para pejabat JI. Dan, siapa yang menyangka kalau si pedagang roti tersebut, ternyata membawa organisasi yang memiliki sayap militer dengan kemampuan yang cukup membuat orang tercengang. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007