Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut ancaman pidana paling lama tiga tahun bagi dokter yang melakukan praktik tanpa izin. Pada sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa, majelis hakim konstitusi yang diketuai Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyatakan ancaman pidana yang termuat dalam pasal 76 UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran itu tidak sesuai dengan filsafat hukum pidana. Selain mencabut hukuman pidana bagi dokter praktik tanpa izin, MK juga meniadakan ancaman hukuman pidana tiga tahun bagi dokter yang tidak memiliki surat tanda registrasi dan ancaman pidana satu tahun karena tidak memasang papan nama. MK berpendapat ketentuan hukuman pidana dalam pasal 75 ayat 1 dan pasal 79 huruf a UU Praktik Kedokteran itu tidak tepat dan tidak proporsional. MK juga tidak memandang perlu ancaman hukuman pidana dalam pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran bagi dokter atau dokter gigi yang tidak melakukan kewajibannya untuk menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran. "Terhadap ketentuan ini, MK berpendapat bahwa adanya ancaman pidana demikian bukan hanya tidak tepat tetapi juga tidak perlu," ujar hakim anggota HAS Natabaya saat membacakan putusan. Meski menilai perumusan ketentuan pidana dalam tiga pasal dalam UU Praktik Kedokteran itu dapat dibenarkan dari sudut teori hukum pidana, MK menilai ancaman pidana tersebut tidak tepat dan tidak proporsional karena pemberian sanksi pidana harus memperhatikan perspektif hukum pidana yang humanistis dan terkait erat dengan kode etik. "Ancaman pidana itu telah menimbulkan perasaan tidak aman dan ketakutan sebagai akibat tidak proporsionalnya antara pelanggaran yang dilakukan dengan ancaman pidana yang diatur dalam UU yang bersangkutan," tutur Natabaya. MK menyatakan pasal 75 ayat 1 dan pasal 76 sepanjang kata-kata "penjara paling lama tiga tahun" dan pasal 79 sepanjang kata-kata "kurungan paling lama satu tahun" dalam UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan pasal 28G UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Untuk itu, MK tetap memberlakukan hukuman denda paling banyak Rp100 juta bagi dokter yang praktik tanpa ijin dan tanpa surat tanda registrasi, serta denda Rp50 juta bagi dokter yang tidak memasang papan nama dan bagi dokter yang tidak melaksanakan kewajibannya menambah ilmu pengetahuan serta mengikuti perkembangan teknologi. Uji materiil diajukan oleh enam dokter, di antaranya dr Anny Isfandyarie. Para pemohon menilai ketentuan ancaman pidana dalam UU Praktik Kedokteran merupakan bentuk kriminalisasi yang menimbulkan perasaan cemas dan tidak tenang dalam menjalakan profesi mereka. Meski MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, Anny mengatakan dirinya masih sedih karena MK tidak menghapuskan hukuman denda dalam pasal-pasal yang diujimateriil. Pemohon juga mengajukan uji materiil pasal 37 ayat 2 UU Praktik Kedokteran tentang pembatasan praktik kedokteran hanya di tiga tempat, namun MK menolak permohonan uji materiil pasal tersebut karena tidak cukup beralasan. Satu hakim konstitusi, Laica Marzuki, menyatakan alasan berbeda dalam putusan tersebut. Laica berpendapat ketentuan pidana dalam pasal-pasal UU Praktik Kedokteran yang dimohonkan untuk diujimateriil tidak dapat dinyatakan sebagai perbuatan pidana karena tidak mengandung unsur sifat melawan hukum. Sedangkan dua hakim konstitusi, Maruarar Siahaan dan Harjono, menyatakan pendapat berbeda. Keduanya berpendapat, MK seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya, termasuk membatalkan ketentuan pembatasan praktik hanya di tiga tempat. Menurut dua hakim konstitusi itu, pembatasan praktik dokter dengan alasan menjaga kualitas pelayaan dokter berangkat dari asumsi yang keliru. Menurut mereka, pembatasan itu menyebabkan timbulnya kepincangan dan ketidakadilan pelayanan dokter pada daerah tertentu, terutama pada daerah terpencil.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007