Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengusut penyimpangan dana pengganti kegiatan penambangan migas ("recovery cost") yang mungkin dilakukan oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), kata Deputy Sekjen Transparansi Internasional (TI) Indonesia, Reski S Wibowo. "KPK harus menindaklanjuti penyimpangan "cost recovery" oleh kontraktor milik pemerintah," katanya di Jakarta, Kamis. "Cost recovery" adalah penggantian biaya operasi yang diberikan oleh Pertamina atau BP Migas (pemerintah) kepada kontraktor sesuai perjanjian. Dalam "cost recovery" tercantum beberapa elemen biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah, antara lain biaya tenaga kerja dari kegiatan eksplorasi hingga produksi, biaya perkantoran, biaya eksplorasi lain, dan biaya training pegawai. Selain itu juga dicantumkan biaya depresiasi aktiva kontraktor, baik tahun sebelumnya maupun pada tahun sedang berjalan. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap penggunaan biaya kegiatan perminyakan atau "cost recovery" 152 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tahun 2000 sampai 2006 tercatat senilai Rp122,684 triliun. Dari jumlah itu didapati indikasi penyimpangan senilai Rp18,067 triliun dari sekitar 43 KKKS. Dalam laporannya, BPK juga menyatakan biaya penggantian operasional kontraktor itu mengalami peningkatan tiap tahun, terhitung sejak 2001 hingga 2005. "Cost recovery" sektor perminyakan tercatat 2,7 miliar dolar AS pada 2001, 3,05 miliar dolar AS (2002), 3,17 miliar dolar AS (2003), 3,18 miliar dolar AS (2004), dan 4,3 miliar dolar AS (2005). Sedangkan dalam penambangan gas tercatat 1,6 miliar dolar AS (2001), 2,0 milar dolar AS (2002), 2,3 miliar dolar AS (2003), 2,4 miliar dolar AS (2004), dan 3,3 milar dolar AS (2005). Menurut Rezki, sampai saat ini data yang dikeluarkan BPK adalah data KKKS asing. Sedangakan data kontraktor milik negara atau kontrak kerjasama negara dengan asing belum dapat diakses masyarakat. Angka penyimpangan akan semakin tinggi jika data "cost recovery" dari kontraktor milik negara juga disertakan dalam hasil audit BPK.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007