Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Hadi A. Wayarabi, salah seorang mantan Duta Besar (Dubes) RI untuk Malaysia terkait dalam kasus dugaan korupsi pungutan liar (pungli) di Kedubes RI di Kuala Lumpur, Malaysia. Usai diperiksa selama delapan jam di Gedung KPK, Jalan Veteran, Jakarta, Rabu, Hadi Wayarabi dibawa ke Rumah Tahanan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Rutan Polda Metro Jaya). Sebelum dibawa ke Rutan, Hadi Wayarabi sempat memberikan keterangan pers. "Saya memenuhi janji saya," ujarnya. Selama pemeriksaan di KPK sejak ditetapkan sebagai tersangka pada Mei 2007, Hadi Wayarabi tidak mau berkomentar. Ia hanya mengatakan, akan berbicara pada saatnya. Dalam keterangannya, ia mengemukakan, merasa dikelabui oleh para bawahannya, karena tidak pernah dilaporkan soal adanya Surat Keputusan (SK) ganda tentang pungutan biaya keimigrasian di Kedubes RI di Malaysia. Ia mengaku, baru mengetahui dan baru melihat SK ganda tersebut saat diperlihatkan oleh penyidik KPK. Selama bertugas tiga tahun di Kuala Lumpur sejak Juni 2000 hingga Juni 2003, ia mengemukakan, tidak tahu keberadaan SK palsu yang ditandatangani oleh Dubes sebelumnya, M. Jacob Dasto, pada 20 Juli 1999. SK palsu yang menarik biaya keimigrasian yang lebih tinggi dari tarif sebenarnya itu dibuat oleh Kepala Bidang (Kabid) Imigrasi KBRI Kuala Lumpur saat itu, Suparba Wamiarsa, tanpa sepengetahuan Jacob Dasto. Suparba juga ditahan oleh KPK di Rutan Markas Besar Kepolisian Negara RI (Mabes Polri). Hadi Wayarabi, yang saat memberi keterangan pers terlihat bernada tinggi, mengatakan bahwa dirinya memang menerima uang senilai 19.000 Ringgit Malaysia (RM) dari Suparba yang dikatakan sebagai uang representasi atau uang lobi. "Dia katakan itu uang lobi. Saya gunakan untuk membantu WNI yang bermasalah di Malaysia. Untuk mengurusi persoalan TKI, dan juga membantu mahasiswa Indonesia yang mau pulang," jelasnya. Selain dari Suparba, Hadi juga mengaku menerima sejumlah uang lagi senilai 1.000 RM dari pengganti Suparba, Arken Tarigan. Ia juga mengatakan, praktik pungutan dengan SK palsu itu terus berlanjut hingga masa dubes sesudahnya, Roesdihardjo. Hadi Wayarabi berharap, mendapatkan perlakuan adil sehingga seharusnya KPK juga memeriksa Roesdihardjo dan Jacob Dasto. Mengenai penahanannya, ia hanya bersikap pasrah. "Saya tidak keberatan, karena ini sesuai prosedur yang berlaku," ujarnya. Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan, Tumpak Hatorangan Panggabean, mengatakan bahwa KPK sudah meminta keterangan Jacob Dasto dan Roesdihardjo. KPK, lanjut dia, sudah mendengar keterangan Jacob Dasto bahwa dirinya tidak mengetahui keberadaan SK palsu tersebut. "Menurut pengakuan dia, dan hasil pemeriksaan kita, dia memang tidak menerima apa pun," ujarnya. Sedangkan, katanya, terhadap Roesdihardjo KPK masih terus mengadakan penyelidikan. Tumpak menjelaskan, berdasarkan hasil penyidikan KPK, Hadi Wayarabi selama menjabat Dubes Malaysia bersama dengan Suparba pada 2000 hingga 2003 telah melakukan pemungutan biaya dokumen keimigrasian dari WNI yang ada di Malaysia melebihi dari ketentuan yang ditetapkan. Kedua tersangka menerapkan SK ganda No 021/SK-DB/0799 tertanggal 20 Juli 1999. "Yang bertarif lebih besar digunakan sebagai dasar pemungutan dokumen keimigrasian di KBRI Kuala Lumpur, sedangkan yang bertarif kecil digunakan sebagai dasar penyetoran penerimaan negara bukan pajak," tutur Tumpak. Selisih pendapatan dari pemungutan menggunakan SK ganda itu, menurut Tumpak, mencapai Rp26,59 miliar atau 10,6 juta RM. KPK juga menemukan adanya selisih kurs visa antara yang dipungut dan disetorkan ke kas negara. Uang yang dipungut dalam bentuk ringgit Malaysia sementara yang disetorkan ke kas negara dalam bentuk mata uang dolar Amerika Serikat, sehingga terdapat selisih Rp922 juta atau setara 369.000 RM. KPK memperkirakan kerugian negara akibat praktik pungutan liar itu mencapai Rp27,5 miliar. Hadi dan Suparba dijerat pasal 2 ayat 1, pasal 3, pasal 11, pasal 12 e, UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. SK palsu tersebut diedarkan ke seluruh konsulat jenderal RI yang berada di Malaysia. KPK telah menangani kasus serupa di Konjen RI di Penang dan Johor Baru. Dalam keterangannya, Hadi mengakui adanya kejanggalan dalam SK palsu yang ditandatangani oleh Jacob Dasto tersebut. SK palsu itu menggunakan kop surat Kedubes RI, sedangkan SK yang dikeluarkan oleh Dubes RI, menurut Hadi, menggunakan kop surat Dubes RI. "Cap yang digunakan seharusnya juga cap Dubes RI. Tapi, SK itu menggunakan cap Kedubes RI," ujarnya. Selain itu, lanjut dia, Dubes RI yang dalam waktu dekat sudah tidak akan menjabat lagi tidak sewajarnya menandatangani SK penting yang berimplikasi penting terhadap kebijakan masa sesudahnya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007