Jakarta (ANTARA News) - Mantan Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara Kamaluddin Harahap pada bulan Juni 2016 divonis pidana penjara selama 4 tahun 8 bulan.

Dia terbukti bersalah dalam kasus suap yang melibatkan gubernur nonaktif Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho.

Kamaluddin didakwa menerima suap sebesar Rp1,41 miliar secara bertahap dari Gatot agar yang bersangkutan mengabulkan permintaan Gatot.

Kamaluddin yang sejak 13 Oktober 2016 menjadi salah satu penghuni Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin merasa tidak mendapatkan hak pengurangan masa pidana dan pembebasan bersyarat.

Sementara itu, Kamaluddin berpendapat bila mengacu pada ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 Tentang Remisi, setidaknya Kamaluddin seharusnya sudah dua kali berkesempatan untuk mendapatkan remisi, yaitu remisi umum pada tanggal 17 Agustus 2017 dan remisi khusus pada tanggal 25 Juni 2017.

Menurut dia, hal itu disebabkan karena adanya ketidakpastian hukum dan multitafsirnya ketentuan Pasal 14 (1) huruf i dan k, serta Pasal 14 (2) Undang-Undang Pemasyarakatan yang kemudian menjadi acuan syarat justice collaborator (JC). Bila syarat JC ini masih berlaku, Kamaluddin merasa tidak akan mendapatkan hak bebas bersyarat tersebut.

Adapun ketentuan JC sebagai syarat remisi dan pembebasan bersyarat ini secara langsung telah menjadi pembatas hak asasi narapida perkara korupsi karena syarat JC untuk mendapatkan remisi ini hanya berlaku bagi narapidana perkara korupsi.

Hal ini kemudian dinilai Kamaluddin menyebabkan adanya diskriminasi di antara narapidana.

Oleh karena itu, Kamaluddin kemudian meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan UU a quo bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kamaluddin maju dengan harapan ia bisa merasakan "nikmatnya" mendapatkan remisi, laiknya penghuni lembaga pemasyarakatan lainnya.


Objek yang sama

Setelah melalui sidang pendahuluan dan sidang perbaikan uji materi, MK memutus perkara yang diajukan oleh Kamaluddin tanpa melalui sidang yang masuk ke dalam pokok perkara.

Hal ini disebabkan karena sebelum Kamaluddin mengajukan uji materi, lima narapidana kasus korupsi lainnya telah mengajukan uji materi dengan objek serupa, yaitu ketentuan Pasal 14 Ayat (1) Huruf i UU Pemasyarakatan dengan nomor perkara 54/PUU-XV/2017.

Lima narapidana tersebut adalah Otto Cornelis Kaligis, Suryadharma Ali, Waryono Karno, Barnabas Suebu, dan Irman Gusman.

Perkara yang diajukan oleh lima koruptor tersebut telah diputus oleh Mahkamah di awal November 2017, 1 bulan setelah Kamaluddin mengajukan permohonan uji materi ke MK.

Adapun kedua permohonan dari perkara Kamaluddin dan lima narapidana kasus korupsi lainnya adalah sama, yaitu meminta Mahkamah untuk menafsirkan bahwa remisi yang diatur dalam pasal a quo juga dapat berlaku untuk terpidana kasus korupsi.

Melalui sidang putusan tersebut, Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan amar putusan mahkamah yang menyatakan menolak permohonan Kamaluddin selaku pemohon untuk seluruhnya.


Pertimbangan mahkamah

Dalam pertimbangan mahkamah untuk gugatan atas Pasal 14 Ayat (1) huruf i dan k UU Pemasyarakatan, Mahkamah melalui Hakim Konstitusi Manahan Sitompul mengutip pertimbangan dalam putusan perkara nomor 54/PUU-XV/2017.

Terkait dengan dalil Kamaluddin yang menyatakan ketentuan pembebasan bersyarat yang diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) Huruf k UU Pemasyarakatan menimbulkan multitafsir, Mahkamah berpendapat penjelasan pasal tersebut telah memberikan pengertian mengenai yang dimaksud dengan pembebasan bersyarat.

Dengan demikian, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh pembebasan bersyarat adalah sama dengan hak untuk memperoleh remisi sebagai hak yang dibatasi oleh syarat dan tata cara tertentu.

"Meskipun merupakan hak, pembebasan bersyarat tidak bisa diberikan dengan serta-merta, kecuali bagi yang telah memenuhi persyaratan," jelas Manahan.

Manahan menambahkan bahwa hak narapidana memperoleh pembebasan bersyarat tidak dapat ditafsirkan lain atau diberi pemaknaan berbeda selain yang tersebut dalam norma a quo.

Jika benar terdapat perbedaan penafsiran, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 yang direvisi dengan PP No. 28/2006 dan PP No. 99/2012 dimaksudkan merupakan peraturan teknis dalam kewenangan Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut sebagaimana ditentukan Pasal 14 Ayat (2) UU Pemasyarakatan.

Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 14 Ayat (2) UU tentang Permasyarakatan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur syarat dan tata cara pelaksanaan remisi.

"Berdasarkan hal ini, Pemerintah memperoleh kewenangan delegasi untuk mengatur pemberian remisi tersebut," ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul saat membacakan pertimbangan mahkamah.

Merujuk pada delegasi tersebut dan berdasarkan ketentuan a quo, Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) yang secara lebih detail memberikan panduan pelaksanaan pemberian remisi.

Manahan memaparkan bahwa hak-hak narapidana, seperti remisi, termasuk dalam hak hukum yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana tertuang dalam ketentuan a quo.

Dengan demikian, hak tersebut, termasuk remisi, bukanlah hak yang tergolong ke dalam hak asasi manusia dan bukan tergolong hak konstitusional.

"Bahwa setelah membaca dengan saksama permohonan para pemohon, hal yang dipersoalkan sesungguhnya adalah peraturan pelaksanaan dari UU Permasyarakatan yang telah didelegasikan kepada peraturan pemerintah," ujar Manahan.

Oleh sebab itu, Mahkamah menyatakan bahwa keberatan terhadap ketentuan a quo berada di luar yurisdiksi Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus.

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018