Jakarta (ANTARA News) - Komisi III DPR RI diminta jangan terpaku dengan kriteria usia dalam menentukan calon hakim agung yang layak. Koordinator bidang monitoring peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, di Jakarta, Rabu, mengatakan, dari hasil pemantauan ICW selama dua hari, proses seleksi calon hakim agung, belum ada calon yang dinilai memiliki kemampuan menonjol. Namun, ICW mencatat satu calon, yakni ahli hukum pidana Universitas Padjadjaran, Komariah E Sapardjaja, yang dinilai paling menguasai teknis yuridis ilmu hukum. Dalam uji kelayakan di DPR, Selasa, 3 Juli 2007, Komariah terlihat lugas menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh anggota Komisi III. Dua anggota Komisi III, Ahmad Kurdi Moekti dan Nursyahbani Katjasungkana juga memuji makalah yang dibawakan oleh Komariah karena dinilai yang paling memiliki analisa tajam. Dalam paparannya tentang motivasi menjadi calon hakim agung, Komariah menegaskan, selama ini ia telah berupaya memperbaiki dunia peradilan melalui kritik-kritik serta kajian yang dilakukan dari luar dunia peradilan. "Namun, suara saya yang kecil ini rupanya tidak didengar. Jadi, kalau saya masuk ke sistem, mudah-mudahan bisa berbuat lebih banyak," ujarnya. Namun, usia Komariah yang mencapai 64 tahun pada akhir Juli 2007 menjadi persoalan tersendiri bagi Komisi III. Ketua Komisi III Trimedya Pandjaitan sudah menyatakan, Komisi III tidak akan memilih calon yang akan memasuki masa pensiun dalam kurun satu sampai dua tahun mendatang. UU No 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (MA) mengatur usia pensiun hakim agung 65 tahun. Usia pensiun itu dapat diperpanjang menjadi 67 tahun dengan syarat memiliki kinerja luar biasa dan masih sehat jasmani serta rohani. Saat ini, dengan jumlah hakim agung yang tinggal 45 orang dan tumpukan perkara masih hampir 10 ribu kasus, semua hakim agung yang berumur 65 tahun telah diperpanjang masa pensiunnya menjadi 67 tahun, termasuk Ketua MA Bagir Manan. Trimedya beralasan, apabila calon hakim agung terpilih telah mendekati masa pensiun, maka calon tersebut dikhawatirkan tidak dapat berbuat banyak di MA. "Kalau nanti baru satu tahun di MA, lalu diperpanjang pensiunnya, pasti menimbulkan polemik lagi, karena tentu dipertanyakan kinerja luar biasanya yang hanya satu tahun," ujarnya. Namun, Emerson berpendapat lain. Menurut dia, lebih baik DPR memilih calon yang sudah teruji integritas serta kemampuannya meski usianya mendekati masa pensiun, dibanding memilih calon yang masih muda namun diragukan integritasnya. Berdasarkan jejak rekam Komariah dan penampilannya saat menjalani seleksi di Komisi Yudisial (KY) maupun uji kelayakan di DPR, Emerson meyakini Dosen Unpad itu akan memiliki kinerja luar biasa di MA. "Lebih baik memilih calon yang diperkirakan berbuat banyak di MA meski sebentar, daripada meloloskan yang masih muda tetapi tidak terukur integritasnya," ujarnya. Beberapa anggota Komisi III, termasuk Trimedya, sudah menyatakan kekecewaannya terhadap kualitas calon hakim agung yang diajukan oleh KY. Bahkan, Trimedya sudah menyatakan, Komisi III terpaksa harus memilih yang terbaik di antara yang terburuk. Berdasarkan pengamatannya selama dua hari proses seleksi, Trimedya menilai hakim karir lebih mampu menjawab pertanyaan soal teknis yuridis dibanding calon yang berasal dari kalangan non karir. Namun, hakim karir itu juga dinilai lebih permisif terhadap pemberian hadiah dari pihak yang berperkara. Calon Abdul Wahid Oscar yang hakim tinggi pengawas di MA, di depan Komisi III mengaku sering menerima uang terima kasih dari pihak yang berperkara meski nilainya di bawah Rp1 juta. Demikian pula dengan hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, Mahdi Soroinda Nasution, yang mengaku sering menerima pemberian dari koleganya, para advokat, dengan alasan tidak berperkara dengan para pengacara itu. Di depan Komisi III, Mahdi secara terang-terangan mengaku, perjalanan hajinya dibiayai oleh uang yang diberikan oleh pengacara. "Apa saya salah menerima itu? Padahal, saya tidak punya perkara dengan pengacara itu. Mungkin, ini yang katanya Ustadz, kalau mau naik haji pasti ada saja uangnya," ujarnya. Mahdi yang memiliki harta kekayaan Rp6 miliar itu juga mengaku pernah menerima pemberian sepasang pulpen mahal dari seorang pengacara dan sebuah tas dari seorang notaris. Ia juga mengaku pernah menerima pemberian dari pihak penggugat dan tergugat yang telah berdamai, serta dari pasangan suami-istri yang tidak jadi bercerai. Bahkan, Mahdi juga mengatakan, kode etik hakim sebaiknya direvisi karena memuat larangan hakim untuk bergaul dengan pengacara. "Apa hakim mau dikucilkan dengan adanya larangan itu? Saya sering bergaul dengan pengacara, sering makan bareng. Tetapi, sampai hari ini, saya masih bisa berjalan tegak di depan para pengacara karena saya memiliki prinsip," tuturnya. Pada Rabu, 4 Juli 2007, Komisi III kembali menggelar uji kelayakan terhadap empat calon hakim agung, yaitu Dirjen Badan Peradilan Umum MA M Hatta Ali, Ketua PT Manado M Zaharuddin Utama, Wakil Ketua PT Tanjung Karang M Saleh, serta serta Ketua Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Mukhtar Zamzami. Dari 18 calon yang diajukan oleh KY, Komisi III memilih enam yang terbaik untuk diajukan ke Presiden. Emerson mengingatkan Komisi III untuk tidak memaksakan diri memilih enam calon apabila yang berkualitas kurang dari jumlah tersebut.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007