Banda Aceh (ANTARA News) - Partai Rakyat Aceh (PRA) menolak rencana Pemerintah berhutang pada Islamic Development Bank (IDB) sebesar 500 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau sekira Rp4,45 triliun untuk pengembangan kebun kelapa sawit di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). "Keinginan Pemerintah Aceh untuk mengambil utang dengan alasan apa pun harus ditolak dengan tegas dan tidak boleh ada kompromi sedikit pun," kata Sekretaris Jenderal (Sesjen) PRA Pusat, Thamrin Ananda, ketika membuka Konferensi Wilayah PRA Kota Banda Aceh di Banda Aceh, Rabu. Dikatakannya, rencana tersebut sama persis dengan pemerintahan sebelumnya yang terus menggantungkan diri dengan hutang luar negeri. Kalau rencana itu berjalan, maka rakyat Aceh akan terus tergantung dengan pihak asing. Ia menyatakan, rencana tersebut justru akan membuat kondisi perekonomian di Aceh terpuruk, apalagi tingkat inflasi di daerah itu masih berada pada posisi 8,54 persen. Ia mengemukakan, bila Aceh bergantung dengan hutang luar negeri, maka semua kebijakan publik di Aceh akan diatur atau dibuat sesuai dengan kehendak asing, khususnya dalam memajukan bisnis pasar bebas yang sedang mereka agung-agungkan. Thamrin menyatakan, persoalan kemiskinan merupakan masalah akut yang sedang terjadi di Aceh yang kini mencapai 48,23 persen dari jumlah penduduk di daerah itu sekitar 4,2 juta jiwa. Sementara itu, jumlah pengangguran terbuka mencapai angka 43,68 persen dari angkatan kerja, sedangkan pengangguran tertutup atau semi pengangguran mencapai 33,21 persen. Kalau ditotalkan akan melahirkan angka pengangguran yang sangat fantastis, yaitu mencapai 76,89 persen. Jumlah pengangguran yang begitu besar bukan dijawab dengan cara membuka kebun sawit yang modalnya dari utang, karena cara tersebut sama saja dengan gali lubang tutup lubang dan rakyat tetap pada posisi miskin dan menganggur, kata Thamrin. Oleh karena, menurut dia, pihak pengutang memberikan modalnya bukan sebab kebaikan hati atau kasihan, tapi lebih untuk mencari keuntungan dan menjerat rakyat Aceh dalam lingkaran setan kemiskinan yang panjang. Untuk menekan angka pengangguran yang begitu besar, pemerintah Aceh harus membuka lapangan kerja dengan cara membuka industri milik pemerintah setempat, bukan dengan cara mengambil utang, katanya. "Untuk membuka beberapa sektor industri tidak memerlukan hutang. Kita masih memiliki potensi keuangan dari dana pemberdayaan ekonomi di Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias, yang cukup untuk membangun satu industri yang mampu menampung tenaga kerja," ujarnya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007