Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden Senior Divisi Amanah Syariah HSBC, Mahmoud Abushamma mengatakan Indonesia belum memanfaatkan keberadaan sumber dana dari investor syariah dan Timur Tengah (Timteng) yang lebih menguntungkan untuk pembangunan. "Padahal bila pemerintah menginginkan untuk meningkatkan biaya investasi menjadi delapan miliar dolar, investor syariah mampu menyediakan dana empat miliar dolar," katanya di Jakarta, Kamis. Menurut dia, saat ini pemerintah Indonesia masih banyak melihat pembiayaan konvensional dibandingkan pembiayaan syariah yang saat ini terus berkembang di dunia. "Pemerintah Indonesia sebaiknya melihat kemampuan industri syariah di dunia yang saat ini berkembang dengan pesat di seluruh belahan dunia," katanya. Sementara itu, ia mengatakan saat ini perkembangan yang lambat industri keuangan berbasis syariah yang lambat di Indonesia karena adanya masalah pajak berganda yang masih membebani. "Ini hanya terjadi di Indonesia. Di Malaysia, Singapura, Brunei, semuanya telah menghilangkan kendala tersebut (pajak)," katanya. Hal ini menurutnya menjadikan bisnis syariah menjadi lebih mahal dan pada akhirnya susah untuk mengembangkan berbagai produk turunan. Wakil Presiden HSBC Amanah Syariah untuk Indonesia mengatakan struktur pepajakan yang tidak jelas membuat pembiayaan lebih murah dilakukan di luar negeri. "Kita contohnya di HSBC, pembiayaannya itu untuk di Indonesia tapi kita melakukannya di luar negeri. Misalnya mereka impor kita pembiayaannya di luar untuk masuk ke Indonesia," katanya. Sementara itu dalam pemaparannya saat ini berbagai negara dan pengusaha telah memanfaatkan sukuk. Selama tahun 2002-2006 menurut dia penerbitan sukuk di seluruh dunia telah mencapai 32 miliar dolar AS dengan pertumbuhan yang terus meningkat per tahunnya. Semester pertama 2007, menurut dia jumlah sukuk yang dikeluarkan telah melebihi 3,25 miliar dolar AS.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007