Surabaya (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi menyampaikan modus perkara korupsi terbanyak adalah terjadi pada pengadaan barang dan jasa karena sering dilakukan "mark up" atau menaikkan anggaran.

"Ke depan, diharapkan terdapat Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang mandiri dan profesional," ujar pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif di Gedung Negara Grahadi di Surabaya, Rabu.

Menurut dia, khusus di Jatim telah terlihat secara infrastruktur jauh lebih siap dibanding provinsi lain di Indonesia.

Terkait pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan KPK, kata dia, terdiri dari serangkaian tindakan mulai koordinasi, supervisi, monitoring, pencegahan, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

"Namun, yang selama ini dilihat masyarakat hanya pada ranah penindakan. Salah satu fungsi yang tidak nyaman adalah penindakan, padahal ini hanya 20 persen dari rangkaian pekerjaan KPK," ucapnya.

Sementara itu, berdasarkan catatannya, sejak tahun 2015 hingga 2018 KPK telah menerima aduan dari Jatim sebanyak 1.790 aduan, tapi belum tentu kasus korupsi dan dianggap pelapor sebagai tindak pidana korupsi.

Setelah diverifikasi, lanjut dia, menjadi 345 aduan yang sudah ditelaah dan bila ditemukan penyelewengan penyelenggaraan negara maka segera ditangani KPK, tapi jika tidak maka kasus diserahkan ke Polda dan Kejaksaan Tinggi.

"Bayangkan, bila dari 345 aduan yang benar 10 persen saja maka ini sudah tidak nyaman. Karena korupsi tidak pernah hanya dilakukan hanya oleh satu orang," katanya.

Pada kesempatan sama, berharap penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) terus dilakukan karena menjadi tim pengawas pertama yang bertugas mengingatkan bila terjadi ketidakberesan.

"Petugas APIP harus tegas, karena kalau tugas APIP sesuai, Insya Allah tidak akan timbul masalah dengan BPKP maupunk KPK," katanya.

Pewarta: Fiqih Arfani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018