Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia (Perdossi) Prof. dr. Moh Hasan Machfoed, Sp.S (K) mengatakan landasan ilmiah tentang metode cuci otak yang dilakukan oleh dr Terawan Agus Putranto masih lemah.

"Saya sebagai Ketua Umum PP Perdossi telah mengeluarkan statemen resmi bahwa "brain wash" tidak memiliki landasan ilmiah kuat," kata Prof Hasan dalam pernyataannya di laman Bali Medical Journal dikutip di Jakarta, Jumat.

Hasan menyatakan hal tersebut setelah mengkaji prosedur metode cuci otak yang diterapkan oleh dr Terawan yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah berdasarkan hasil disertasinya di Universitas Hassanudin Makassar.

Dokter Terawan selama ini menggunakan metode cuci otak melalui Digital Substraction Angiography (DSA) dengan menggunakan heparin sebagai obat yang disuntikkan intra arterial ke peredaran darah di otak guna mengobati stroke iskemik kronik.

"Secara klinis, DSA dengan heparin hanya berfungsi sebagai sarana diagnosis untuk melihat deviasi pembuluh darah otak," kata Hasan.

Hasan telah melakukan penelitian yang hasilnya telah dipublikasikan di BAOJ Neurology Amerika Serikat bahwa terapi heparin pada stroke tidak memiliki landasan ilmiah kuat.

Tidak sampai di situ, Prof Hasan dan rekan-rekannya juga mempelajari penelitian ilmiah dr Terawan yang dipublikasikan di Bali Medical Journal yang tentunya sama dengan hasil disertasi.

"Dari hasil kajian itu, lagi-lagi disimpulkan bahwa hasil penelitian itu tidak memiliki landasan ilmiah," jelas Hasan.

Prof Hasan menyebutkan salah satu contoh di mana dr Terawan mengambil referensi dari penelitian Guggenmos yang dianggap keliru karena perbaikan stroke menurut Guggenmos bisa dilakukan dengan implantasi microelectrodes di kortek.

"Jadi perbaikan stroke bukan karena heparin. Hal-hal yang tidak akurat semacam ini terjadi pada seluruh diskusi hasil penelitian. Itu sama artinya, bahwa tidak ada satupun referensi yang mendukung hasil disertasi," kata Hasan.

Pengobatan standar
Sementara itu, 
Dokter spesialis saraf Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya dr Yudhi Adrianto menyebut metode cuci otak yang dilakukan dr Terawan Agus Putranto tidak termasuk dalam pengobatan standar pasien stroke seperti standar "guideline" dunia.

Yudhi saat dikonfirmasi di Surabaya, Kamis mengatakan, terapi cuci otak memang telah lama digaungkan sehingga menjadi polemik dan tindakan tersebut oleh sebagian dokter radiologi intervensi diklaim sebagai terapiotik terutama oleh dr Terawan.

"Dari disiplin ilmu lain, yakni neurologi tindakan itu sebagai diagnostik. Yang sifatnya untuk mengetahui kelainan pembuluh darah otak. Menurut dokter Terawan itu memiliki makna terapiotik," ujarnya.

Ditanya terkait pemecatan dr Terawan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), menurutnya vonis itu tentu sudah melalui kajian yang mendalam melalui pakar-pakar sehingga yang bersangkutan melanggar etik.

Tapi lepas dari itu, sambung Yudhi, dokter dalam melakukan pengobatan harus ada patokan ilmiah. Ada yang sifatnya Evidence-based Medicine (EBM) jadi bukan testimonial.

"Sebelum dilakukan pada manusia terlebih dahulu ada penelitian. Ada fase 1, 2, sampai 4. Sehingga untuk manusia bukan hanya manfaat, bahaya dan potensi komplikasinya, tapi apakah manfaat sudah terukur dengan baik sehingga pada manusia aman," tuturnya.

Dokter spesialis saraf selalu berpatokan pada guideline dunia yaitu guideline AHA-ASA (American Heart Association/American Stroke Association) yang diadopsi oleh Perdossi (Perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia).

"Selama ini terapi cuci otak tidak pernah ada. Jadi misal di Jerman ada, tentu di guideline stroke juga ada," katanya.

Yudhi menambahkan, pihaknya selama ini selalau menggunakan metode DSA (Digital Substracion Angiography) yang merupakan tindakan diagnostic menggunakan Kontras dan Heparin untuk mencegah bekuan darah.

Tujuan DSA sendiri untuk mendiagnostic dan untuk mengevaluasi pembulu darah otak sehingga bisa diketahui penyakit dari pasien dan menentukan pengobatan yang tepat.

Adapun, cara kerja DSA yaitu dengan memasukan kateter yang berukuran kecil dan panjangnya satu meter kedalam pembulu darah dari paha hingga menuju bagian kepala yaitu otak.

Kemudian melalui komputer khusus akan terlihat bagian-bagian pembuluh mana yang mengalami penyempitan dan hal tersebut dimaksudkan untuk diagostic pasien.

"Menurut neuro intervensi yang kita jalani saat ini adalah DSA adalah prosedur diagnostic yang ditengarai sebagai `brain wash` dan itu di klaim sebagai terapiotic yang memiliki efek pengobatan," tuturnya.






Baca juga: Promotor Dr Terawan dorong pengembangan riset

Baca juga: IDI : Terawan memiliki hak dapatkan pembelaan

Baca juga: Menkes harapkan ada penyelesaian dokter Terawan-IDI

Baca juga: Komisi X panggil IDI terkait dokter Terawan

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018