Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanudin Abdullah, mengatakan saat ini Indonesia belum sembuh dari akibat krisis keuangan yang terjadi sepuluh tahun lalu. Hal ini tercermin dari adanya anomali antara BI rate dengan suku bunga deposito yang terjadi saat ini di Indonesia, demikian kata Gubernur BI Nurhanudin Abdullah dalam Rapat Kerja dengan Komis XI DPR, di Jakarta, Kamis malam hingga Jumat dinihari. Ia mengatakan anomali tersebut terjadi dimana BI rate sebesar 8,25 persen lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga deposito sebesar lima persen. "Mestinya BI rate lebih rendah dibandingkan suku bunga deposito," katanya. Ia mengatakan untuk mengatasi masalah ini, BI tidak bisa serta merta menurunkan tingkat bunganya secara drastis. "Secara bertahap kita coba turunkan dengan tetap menjaga stabilitas, dan itu (level BI rate yang lebih rendah dibandingkan suku bunga deposito) bakal tercapai di masa yang akan datang secara bertahap" katanya. Sebab, menurutnya, penurunan secara drastis BI rate pada level yang lebih rendah dibandingkan suku bunga deposito justru akan mengganggu kinerja ekonomi akibat fluktuasi yang terlalu besar. Untuk itu, katanya, saat ini pihaknya menurunkan tingkat BI rate secara bertahap sebesar 0,25 persen. "Mengapa diturunkan 0,25 persen setiap kali penurunan, karena adanya unsur kehati-hatian," katanya. Ia mengemukakan adanya kecendeurungan suku bunga di berbagai dunia yang meningkat dapat mengancam pindahnya dana dari dalam negeri ke luar negeri. "Misalnya, New Zealand dolar sekarang ini delapan persen, Australia dolar 7,5 persen apabila kita turun terlalu drastis, maka banyak pihak yang akan melarikan dananya ke tempat lain," katanya. Hal ini, menurut dia, akan membuat rupiah terdepresiasi, yang pada akhirnya meningkatkan inflasi dan kembali mendorong suku bunga naik. "Dan itu yang membuat kita menurunkan (BI Rate) dengan sangat cermat," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007