PK Ojong dalam bukunya Perang Eropa Jilid III menuliskan, seminggu setelah pendaratan Sekutu di Normandia yaitu 13 Juni 1944, pemimpin Jerman Adolf Hitler melepaskan senjata rahasianya, roket VI (V dari Vergeltung yang artinya pembalasan) ke Inggris Selatan, terutama kota London.

Senjata berbentuk pesawat tanpa pilot yang bermuatan bahan peledak 1.000 kilogram itu menimbulkan banyak korban di kalangan penduduk sipil. Jerman total meluncurkan 2.754 V-1, menewaskan 2.752 penduduk Inggris dan melukai sekitar 8.000 orang.

Presiden ke-34 Amerika Serikat Dwight D Eisenhower menyebut V-1 juga menyerang moril kaum sipil maupun militer Inggris, menghilangkan harapan mereka untuk bisa mengatasi serangan.

Sebagai alat utama untuk mengalahkan musuh, penggunaan senjata harus disesuaikan dengan situasi. Sebagaimana Jerman dalam Perang Dunia II menggempur Inggris dan pasukan sekutu dari udara untuk melumpuhkan mereka, para penegak hukum juga harus memasang strategi yang sesuai dengan medan tempur dalam menumpas korupsi saat ini.

Serumit apapun medan tempur tersebut, para perwira lah yang membuat strategi pertempuran agar serangan tepat sasaran dan logistik tidak mogok di jalan, dan ketika musuh malah masih bisa memporak-porandakan markas, akan muncul pertanyaan apakah strategi itu sudah tepat guna?

Saat membuat pernyataan kepada publik setelah terpilih menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 15 Desember 2015, Agus Rahardjo mengatakan target KPK bukan hanya menyelamatkan uang negara, kurang tepat juga bila ingin menghukum orang, tapi target KPK antara lain mengupayakan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dapat setara setidaknya dengan Malaysia.

Persoalannya, skor IPK Indonesia 2017 berdasarkan survei yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) berada di angka 37 atau sama dengan tahun 2016. Dalam skala 0-100, angka 0 dipersepsikan paling korup dan 100 paling bersih.

Dengan skor itu, peringkat Indonesia melorot ke urutan 96 dari 180 negara, padahal pada 2016, Indonesia berada di peringkat ke-90 dari 176 negara.

Dalam laporan itu Indonesia disebut telah menempuh waktu panjang untuk melawan korupsi, namun sulit untuk meningkatkan peringkat karena dalam lima tahun terakhir hanya berubah dari angka 32 ke 37.

Peningkatan yang tidak signifikan itu terjadi karena kerja dari lembaga terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia untuk memberantas para koruptor menghadapi perlawanan kuat dari pemerintah dan parlemen.

IPK Indonesia 2017 dalam laporan TII masih berada di bawah rata-rata global (43) dan ASEAN (41). Dari 11 negara anggota ASEAN, skor Indonesia sama dengan Thailand. Indonesia bahkan kalah dibanding Timor Leste yang skornya 38, dan di bawah Singapura (84), Brunei Darussalam (62) dan Malaysia (47).

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah strategi untuk memicu mitraliur (senapan mesin) untuk memberantas korupsi sudah tepat? Dan apakah pasukan pemberantas korupsi sudah benar-benar mematuhi strategi yang diterapkan pimpinan KPK?


Kritik

Sejumlah kritik dialamatkan kepada pimpinan KPK dalam penerapan strategi pemberantasan korupsi, termasuk dalam mengatur pasukan yang memerintah dan bertugas di lapangan.

Kritik pertama ditujukan pada sikap tidak tegas pimpinan KPK untuk menyetujui pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) guna mengungkap kasus penyerangan penyidik senior Novel Baswedan.

Masyarakat sipil sudah beberapa kali menyuarakan pembentukan TPF untuk mendorong dan mengawasi pengungkapan kasus penyerangan yang sudah lebih dari satu tahun tidak kunjung menemukan titik terang itu.

Kritik kedua terkait pembiaran pimpinan KPK terhadap perusakan barang bukti yang dilakukan oleh penyidik dari kepolisian. KPK telah mengembalikan ke Kepolisian dua penyidik yang diduga merusak serta menghilangkan bukti ketika menyidik kasus suap mantan hakim konstitusi Patrialis Akbar, namun tidak ada tindakan tegas terhadap pelanggaran tersebut. Belakangan kedua penyidik tersebut justru mendapatkan promosi jabatan di Polda Metro Jaya.

Terakhir, kritik ditujukan terhadap ketidaktegasan pimpinan KPK terhadap Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman. Aris diketahui menghadiri Rapat Pansus Angket KPK yang diinisiasi DPR, padahal sebelumnya Pimpinan KPK menolak menghadiri panggilan pansus angket KPK pada 29 Agustus 2017. Dalam pertemuan dengan DPR tersebut Aris menegaskan dia membantah perintah Pimpinan KPK.

Yang terbaru, pada 6 April 2018, Aris menyampaikan kepada wartawan keinginannya untuk mengangkat kembali penyidik asal Polri Muhammad Irhamni yang sudah bertugas 10 tahun di KPK, alias telah habis masa tugasnya.

Langkah itu yang mendorong kisruh di internal KPK. Para pegawai menyampaikan protes dengan mengirim surel kepada seluruh pegawai KPK, termasuk pimpinan. Surel protes itu dijawab Aris Budiman juga melalui surel bahwa dia adalah "kuda troya" yang tak diinginkan. Aris pun menyampaikan jawabannya itu kepada berbagai media.

Sesungguhnya Biro Hukum KPK sudah memberikan pertimbangan hukum kepada KPK mengenai aturan pegawai negara yang diperkerjakan di KPK.

Biro Hukum KPK menyimpulkan pegawai yang berstatus pegawai negara yang dipekerjakan dan telah memenuhi batas waktu maksimal penugasan pegawai selama 10 tahun tidak dapat diperpanjang secara langsung penugasannya selama enam bulan karena batas waktu maksimal penugasan pegawai negara yang dipekerjakan di KPK telah ditentukan secara jelas sehingga ada dua alternatif: (1) pengembalian kepada instansi asal sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat 8 PP 63/2005 jo PP 103 tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK atau (2) alih status sebagai pegawai KPK setelah mendapat persetujuan pimpinan instansi asal (pasal 5 ayat 9).

Biro Hukum KPK juga meminta pimpinan merujuk pada pasal 11 PP 63/2005 tentang rekrutmen dan seleksi pegawai yang bersifat pegawai negara yang dipekerjakan sebagai kegiatan yang terencana dan sistematis sesuai arah kebijakan, sasaran, strategi dan rencana kerja anggaran KPK secara terbuka, dapat dipertanggungjawabkan dan dilakukan oleh konsultan independen.

Senada dengan Biro Hukum KPK, Penasihat KPK Budi Santoso menyurati pimpinan KPK pada 27 Maret 2018, menyatakan bahwa pimpinan seharusnya membuat keputusan berdasarkan pasal 5 PP 63/2005 jo PP 103 tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK yang menyatakan bahwa masa penguasan pegawai negeri yang dipekerjakan di KPK ditentukan paling singkat empat tahun dan paling lama 10 tahun dan tidak ada opsi untuk bisa ditafsirkan secara berbeda.

Bila hal tersebut dilanggar, ada potensi dipersoalkan secara hukum atau dengan kata lain dianggap melawan hukum. Khusus untuk penugasan pegawai negeri sebagai penyelidik, penyidik dan penuntut umum ada potensi juga bahwa produk-produk keluarannya yang bersifat pro-justicia akan dipesoalkan secara hukum dan dipertanyakan keabsahannya di kemudian hari.

Berdasarkan masukan-masukan itu, Agus Rahardjo pada 17 April 2018 akhirnya menunda perekrutan Irhami.

"Dia (Muhammad Irhami) direkrut untuk menyelesaikan kasus yang khusus. Hari ini (kami kirim) email pegawai seluruh KPK, saya jelaskan sementara kita tunda, kita kaji lagi," kata Agus pada Selasa (17/4).

"Berangkat dari hal itu, rekruitmen Saudara Irhamni dimaksudkan untuk secara khusus membantu pelimpahan Kasus BLBI ke pengadilan, maka pimpinan memutuskan pengangkatan terhadap saudara Irhamni sebagai Penyidik KPK tidak dilakukan untuk saat ini," demikian disebutkan dalam surel tersebut.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri mengatakan konflik internal KPK memang kurang berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah tapi lebih berpengaruh pada soliditas penyidik KPK dalam menangani korupsi.

"Konflik itu pengaruhnya ke soliditas penyidik dalam menangani kasus korupsi. Kalau tidak solid penanganan kasus dikhawatirkan terhambat, misalnya ada penyidik yang mendukung ada yang menghambat atau penyidik ada yang tidak mau berbagi informasi apalagi pimpinan KPK kelihatannya masih belum cukup tegas dalam memberi sanksi kepada anak buahnya yang bermasalah dengan kode etik," kata Febri.

Febri Hendri pun menyarankan pimpinan KPK bertindak tegas dalam menegakkan aturan, siapa yang salah harus diberi sanksi tanpa ditunda-tunda.

"Karena akan muncul pertanyaan dan salah sangka dari internal dan dari luar kenapa yang salah tidak diberi sanksi? Atau apa ada faktor lain sehingga kesannya pimpinan KPK tersandera? Padahal banyak kasus korupsi yang belum tuntas, seperti Century, BLBI, Petral, Jasindo dan masih banyak kasus lain," ungkap Febri.

Ia mengatakan bahwa konflik memang tidak dapat dihindari, dan bagaimana mengelola konflik agar membawa dampak positif pada penanganan korupsi di KPK adalah tugas pimpinan.

Menjaga agar logistik untuk menembak dan memastikan bahwa picu di mitraliur tidak tersumbat memang semestinya menjadi tugas utama pimpinan KPK. Sebab, bila picu terhambat, maka apa gunanya sang mitraliur?

 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018