Yogyakarta (ANTARA News) - Harga obat yang relatif mahal dapat ditekan dengan melakukan efisiensi pada komponen administrasi, sedangkan efisiensi pada komponen produksi akan berisiko terhadap upaya pengendalian mutu. "Selain itu, harga bahan baku juga dapat ditekan dengan menggunakan solusi subsidi dari pemerintah," kata Kepala Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Sri Suryawati di Yogyakarta, Kamis. Namun, menurut dosen Fakultas Kedokteran UGM ini, subsidi tersebut sangat tergantung pada kemampuan pemerintah dalam segi finansial, sehingga sebaiknya obat yang disubsidi adalah obat-obat yang esensial saja. Ia mengatakan komponen administrasi seperti biaya pendaftaran obat dan komponen promosi tidak diketahui masyarakat banyak, dan berdasarkan pengalaman, komponen promosi bisa mencapai 80 persen dari harga obat yang dipasarkan. Menurut dia, harga obat ditentukan oleh beberapa komponen seperti produksi, administrasi, promosi dan komponen distribusi. Komponen produksi berupa harga bahan baku, biaya proses pembuatan, pelabelan, pengemasan dan pengendalian mutu biasanya lebih transparan dibanding komponen harga lain. Ia mengatakan, untuk mengevaluasi harga obat apakah tergolong mahal atau tidak, antara lain dapat dilakukan dengan cara membandingkan harga di dalam negeri dengan harga indeks internasional atau International Price Index (IPI), dan membandingkan komponen harga obat dalam negeri dengan luar negeri. IPI adalah harga yang diperoleh suplier terbesar di dunia, dan karena membeli dalam jumlah besar, mereka mendapatkan harga yang murah sehingga digunakan sebagai acuan oleh banyak negara untuk menyebutkan apakah obat di negaranya mahal atau murah. Mengenai obat generik dari pemerintah, Suryawati mengatakan berdasarkan penelitian harga beberapa obat generik lebih mahal dibanding obat dengan kandungan yang sama namun memiliki nama dagang. "Karena itu, harga obat generik perlu dievaluasi, mengingat obat-obat dengan nama dagang yang harganya murah, ternyata sudah menguntungkan," katanya. Berdasarkan penelitian, katanya, harga obat di Indonesia cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 1997 rata-rata harga obat di dalam negeri 101 persen dari IPI, dan pada saat terjadi krisis ekonomi harganya mencapai 125 persen dari IPI. Kemudian pada 2002 mencapai 160 persen dari IPI. Ada 30 obat yang ditentukan WHO sebagai indikator pembanding harga obat, dan obat sebanyak itu benar-benar dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007