Jakarta (ANTARA News) - Selasa 12 Juni esok, tergelar sebuah momen sangat bersejarah di Singapura ketika Donald Trump bertemu dengan Kim Jong Un.

Pertemuan pertama seorang presiden Amerika Serikat dengan seorang pemimpin Korea Utara itu mengingatkan orang kepada Pertemuan Reykjavik, Islandia, pada 11-12 Oktober 1986, antara Presiden Ronald Reagan dan Pemimpin terakhir Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, yang mengakhiri Perang Dingin dan sekaligus mengubah peta geoplitik dunia untuk selamanya.

3.000 wartawan seluruh dunia tumplek ke Singapura demi mengabarkan pertemuan itu, sedangkan para pakar beradu hipotesis mengenai apa yang akan dihasilkan di Singapura nanti dan tentang 'siapa yang memanfaatkan siapa' atau 'siapa yang dimanfaatkan siapa'.

Enam bulan lalu, Trump dan Kim saling menghunus pedang-pedang nuklirnya sehingga seisi dunia khawatir Perang Dunia Ketiga bakal segera pecah.

Tapi saling ancam itu mencapai antiklimaks ketika Trump dan Kim setuju bertemu, tak lama setelah dua Korea bergandengan tangan di Desa Panmunjom pada 27 April 2018 yang membuat Korea Selatan dilanda euforia mengenai harapan detente, denuklirisasi, dan bahkan unifikasi Korea.

Momen politik yang bisa dikatakan paling besar tahun ini tersebut menjadi momen mengenai bagaimana harapan damai di Semenanjung Korea disemai.

Tetapi pertemuan antara dua pemimpin dunia yang sama-sama sulit diprediksi jalan pikirannya itu ditanggapi optimistis dan pesimistis oleh berbagai kalangan di dunia.

Baca juga: 3.000 wartawan dari seluruh dunia liput KTT Trump-Jong Un di Singapura

Antara optimistis dan pesimistis

Para pejabat AS dan Korea Selatan adalah pihak yang paling optimistis. Mereka percaya sanksi ekonomi telah memaksa Korea Utara sudah tak punya pilihan selain memohon dunia mencabut sanksi ekonomi PBB.

Resolusi 1718 pada 2006 dan lalu Resolusi 2371 pada Agustus 2017, sampai Resolusi 2397 pada Desember 2017, telah membuat Korea Utara merana. Resolusi 2087 pada Januari 2013 bahkan menyasar perdagangan teknologi senjata pemusnah massal dan peluru kendali, yang kemudian diperluas ke masalah persenjataan secara umum oleh Resolusi 2270 pada Maret 2016.

Yang terbaru, Resolusi 2270, 2371 dan 2397 membidik aset-aset individu dan perusahaan Korea Utara atau siapa pun yang berbisnis dengan Korea Utara sehingga secara langsung mengganggu sektor perdagangan Korea Utara karena menjadi mitra dagang paling penting Korea Utara seperti Tiongkok, Rusia, Korea Selatan, dan Vietnam, terpaksa berhenti berbisnis dengan Pyongyang demi mematuhi sanksi PBB.

Dipaksa menghadapi kenyataan keseimbangan ekonomi negaranya terguncang, Kim terpaksa realistis menerima formula internasional dengan memulai denuklirisasi agar sanksi dicabut.

Situasi itu bahkan telah mengubah 180 derajat sikap Kim dari orang yang gemar mengobral ancaman perang nuklir menjadi orang yang tiba-tiba berbicara denuklirisasi. Perubahan yang tiba-tiba ini menimbulkan pertanyaan, tetapi mereka yang optimistis enggan memperhatikannya, dengan sebaliknya kian percaya Kim serius ingin berunding.

Baca juga: Bantuan dunia mengalir ke Korut jika jujur denuklirisasi

Mereka yang optimistis berpandangan bahwa karena Korea Utara sudah menyatakan mampu menyerang daratan Amerika dengan rudal nuklirnya, maka kini waktunya Pyongyang beralih kepada mensejahterakan 25 juta penduduknya yang kebanyakan melarat dan langkah pertama yang Kim lakukan adalah mencoba melucuti semua sanksi ekonomi dengan bertemu Trump sebagai mukadimahnya.

Dari kubu pesimis, Thae Yong Ho, mantan diplomat senior Korea Utara yang membelot ke Korea Selatan pada 2016, berkata, "anggapan bahwa Korea Utara punya niat untuk denuklirisasi total adalah 'fantasi'. Kim Jong Un tidak akan pernah menerima proses pencampakkan senjata nuklirnya yang justru akan mengantarkan kepada keruntuhan kekuasaaan absolutnya di Korea Utara."

Sedangkan Joseph Yun, mantan Wakil Khusus AS untuk Kebijakan Korea Utara, menyebut Trump menginginkan denuklirisasi yang menyeluruh, terverifikasi dan tak dapat diubah yang amat sulit diterima Korea Utara. "Sebaliknya, Kim fokus mempertahankan rezimnya, mulai dari mendapat pengakuan negaranya sebagai negara sah, yang diikuti dengan pencabutan sanksi ekonomi."

Mereka yang pesimistis menganggap Korea Utara hanya memandang pertemuan dengan Trump itu sebagai jalan Kim dalam menjemput konsesi-konsesi yang membebaskan Pyongyang dari jerat sanksi tanpa harus memberikan kompensasi nyata mengenai nuklirnya. Mereka yang pesimistis menilai Korea Utara hanya mengejar survivalitas rezim.

Dan yang mencolok dari pertemuan itu adalah ekspos dua pemimpin yang sama-sama sulit diprediksi, khususnya Kim Jong Un yang justru dianggap penentu arah hasil pertemuan.

The Guardian, pada 8 Juni lalu, malah melihat Kim berusaha mempermainkan Trump sampai-sampai mempelajari buku "The Art of the Deal" karangan Trump yang amat dibanggakan presiden AS itu.

Dari buku itu Kim belajar mengenai bagaimana memanipulasi Trump dan egonya yang enggan menerima nasihat orang-orang terdekatnya dan terlalu angkuh untuk mempersiapkan diri menghadapi momen-momen sepenting KTT di Singapura itu.

"Saya tak perlu (bersiap). Ini cuma soal sikap," kata Trump mengenai persiapannya menghadapi pertemuan dengan Kim.

Baca juga: Trump bertekad akhiri resmi Perang Korea saat bertemu Jong Un

Kim memanipulasi Trump

Padahal dunia ingin tahu persiapan Trump karena menantikan poin-poin detail dari hasil pertemuan itu, khususnya denuklirisasi, yang bakal menjadi titik pangkal untuk menyimpulkan Trump apakah berhasil atau gagal di Singapura nanti.

"Saya yakin Korea Utara pada akhirnya bersedia denuklirisasi, tetapi itu harus dengan naskah yang bagus, dan naskah yang bagus itu harus dirundingkan," kata Joseph Yun.

Trump terlalu yakin model negosiasi bisnis yang dia lakukan sewaktu menjadi pengusaha akan efektif pula diterapkan di meja diplomasi sehingga dia melupakan persiapan dan detail.

Kim Jong Un tahu pasti soal itu dan dia tahu betapa buruknya Trump dalam berdiplomasi.

"Kim tahu sekali betapa buruknya situasi yang dihadapi Trump, menghadapi prospek Pemilu Sela yang suram dan nyaris tidak menang dalam setiap kebijakan luar negerinya," tulis Washington Post.

Oleh karena itu, Kim tahu Trump membutuhkan panggung untuk mengerek popularitasnya di dalam negeri.

Kim tahu jika pertemuan itu menelurkan kesepakatan pengakhiran resmi Perang Korea dan denuklirisasi Semenanjung Korea, maka tidak mustahil Hadiah Nobel menjadi milik Trump dan Kim mungkin sudah menduga Trump lebih abai soal itu ketimbang menuntut konsesi nyata dari Korea Utara karena Nobel dan tanda tangan untuk kesepakatan denuklirisasi bakal menaikkan popularitas Trump di dalam negeri yang sudah babak belur oleh kontroversinya sendiri.

Kenyataannya, Trump memang sering menunjukkan tidak memperhatikan detail. Contoh termutakhirnya adalah ketika dia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang tidak dibarengi dengan meminta konsesi dari Israel untuk perdamaian Israel-Palestina dan Timur Tengah sebagai imbalan dari pengakuan itu. Pada matra lain, Trump tak mau ambil pusing pada rencana ke depan setelah mengeluarkan AS dari Kemitraan Trans Pasifik, perjanjian nuklir Iran, bahkan rencana yang sama dari NAFTA.

Baca juga: Pengacara Trump: Kim Jong-Un memohon KTT kepada AS

Oleh karena itu, pada tahap paling ekstrem, Kim mungkin berpura-pura membenarkan apa yang diyakini Trump benar dalam bukunya "The Art of the Deal" itu dengan seolah menuruti skenario Trump padahal dia sedang memanipulasi presiden AS itu.

"Kim berusaha melemahkan sanksi, menjinakkan serangan pendahuluan militer AS, dan menciptakan kondisi dunia yang menerima Korea utara sebagai negara nuklir yang sah," kata Lee Sung-yoon dari Fletcher School of Law and Diplomacy, Universitas Tufts, AS.

Tetapi pertemuan di Singapura nanti akan memberi panggung kepada Kim untuk menguatkan citra domestik dan internasionalnya. "Berkat manuver terburu-buru Trump, Kim telah membangun dirinya sebagai pemimpin dunia," tulis The Guardian.

Sudah dua kali dia bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping, lalu menyeberang ke Korea Selatan untuk bertemu dengan Presiden Moon Jae-in, dua kali bertemu dengan Mike Pompeo; pertama saat Pompeo menjabat direktur CIA dan yang kedua ketika Pompeo menjadi menteri luar negeri AS.

Akibatnya, Kim pun dalam sorotan dunia.

"Kim tak hanya memperoleh legitimasi internasional yang sejak lama dia dambakan, tapi juga memperkuat cengkeramannya di dalam negeri karena dia dapat memanfaatkan legitimasi internasional itu sebagai propaganda licin untuk audiensnya di dalam negeri," tulis The Guardian lagi.

Kim juga akan memanfaatkan pernyataan positif Trump dan Amerika, terutama mengenai investasi dan transfer teknologi sebagai imbalan dari komitmennya dalam denuklirisasi, untuk mendorong negara-negara mitra bisnisnya, khususnya Tiongkok, untuk mengambil langkah serupa dengan AS.


Faktor Tiongkok

Dengan cara seperti itu, Korea Utara mendapatkan keuntungan lebih banyak tanpa harus memberikan konsesi nyata dalam program nuklirnya. Faktanya, bukan uang Amerika yang dibidik Pyongyang, melainkan uang Tiongkok dan mitra-mitra dagangnya itu, termasuk Rusia yang memiliki perbatasan langsung dengan Korea Utara.

Belakangan ini, Tiongkok, Rusia dan mitra-mitra dagang Korea Utara terpaksa menghentikan berdagang dengan Pyongyang karena harus mematuhi resolusi PBB mengenai sanksi ekonomi kepada rezim Kim.

"Kami tidak pernah mengharapkan dukungan AS dalam mewujudkan pembangunan ekonomi kami dan juga tidak berniat membuat kesepakatan (ekonomi) apa pun (dengan Amerika) di kemudian hari," kata Wakil Menteri Luar Negeri Korea Utara Kim Kyekwan.

Selama ini Korea Utara tersiksa karena Tiongkok turut menutup pintu dagang Pyongyang gara-gara pembunuhan abang tiri pemimpin Korea utara Kim Jong Nan yang justru dalam perlindungan Tiongkok, dan karena uji coba peluru kendali serta bom nuklir Pyongyang sendiri.

Segera setelah resolusi lebih keras dari PBB keluar, Tiongkok menutup pelabuhan-pelabuhannya dari produk-produk Korea Utara yang seketika menghentikan arus dana ke sistem keuangan Korea Utara. Kim ingin situasi normal ketika Tiongkok menerima produk-produknya dikembalikan.

Sebaliknya Tiongkok, mengutip CNBC, juga tidak menginginkan Korea Utara ambruk gara-gara krisis ekonomi yang dipicu sanksi ekonomi PBB karena jika skenario itu akan membuat Tiongkok dibanjiri jutaan pengungsi Korea Utara.

Tiongkok juga berkepentingan dengan status quo di Korea Utara karena akan sangat membahayakan Tiongkok jika Pyongyang terlalu condong ke AS dan Korea Selatan.

"Bagi Tiongkok, jenis kesepakatan damai yang benar adalah yang melemahkan aliansi AS-Korea Selatan, mengurangi ancaman konflik dan aliran pengungsi di perbatasan Tiongkok-Korea Utara, dan akhirnya mengantar ke penarikan pasukan AS dari Korea Selatan," kata Fred Kempe, presiden think tank kebijakan luar negeri, Atlantic Council.

Pada akhirnya, Tiongkok dan Korea Utara memiliki tujuan sama dari pertemuan 12 Juni itu, yakni ingin melihat AS mengendurkan sanksi kepada negara terisolasi tersebut.

Mereka tahu Trump gegabah dalam berdiplomasi dan mereka ingin memanfaatkan lubang ini untuk pencabutan sanksi tanpa harus memberikan konsesi besar yang bakal mengancam eksistensi rezim Kim Jong Un.

Jika esok nanti Trump menghadiahi Korea Utara dengan pencabutan sanksi dan bahkan penarikan mundur pasukan AS dari Korea Selatan dengan imbalan komitmen denuklirasasi Pyongyang tanpa poin-poin tegas, maka itu sama artinya Amerika membuat dirinya aman tetapi membuat was-was sekutu-sekutunya di Asia, khususnya Jepang dan Korea Selatan, yang rentan diserang Korea Utara.

Jadi, pertemuan di Singapura esok nanti tak bisa melulu dipandang dari kaca mata positif kendati pertemuan itu konstruktif untuk perdamaian dunia.

Intinya, jangan terlalu optimistis, tetapi jangan pula terlalu pesimistis. Sebaliknya, mengutip Jeffrey Lewis, pakar pengawasan senjata pada Middlebury Institute of International Studies di Monterey, Amerika Serikat, harus dipahami bahwa "Langkah pertama menuju perdamaian adalah menurunkan ekspektasi kita."

Baca juga: Dua wartawan Korsel ditangkap di Singapura

Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018