Jakarta (ANTARA News) - Pemerhati ketatanegaraan, politik, dan kepemiluan, Said Salahudin, berpendapat pelantikan dan penempatan perwira aktif Polri, Komjen Pol M Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat adalah pengangkangan terhadap Undang-Undang.
     
"Undang-Undang memang membuka ruang bagi anggota Kepolisian termasuk juga anggota TNI untuk menduduki jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN). Tetapi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN (UU ASN) tegas membatasi jabatan mana saja yang boleh diisi oleh anggota Polri/TNI," kata Said menanggapi pengangkatan Komisaris Jenderal Polisi Mochamad Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat, di Jakarta, Senin. 
     
Menurut dia, tidak semua jabatan ASN, seperti jabatan administrasi, jabatan fungsional, dan jabatan pimpinan tinggi untuk pegawai ASN bisa diisi oleh anggota Polri atau prajurit TNI. 
     
Said merujuk pada Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UU ASN, yang mengatur anggota Polri atau prajurit TNI hanya diperbolehkan mengisi jabatan ASN tertentu saja, yaitu jabatan yang ada pada instansi pusat, tidak untuk jabatan pada instansi daerah.
     
"Apa itu instansi pusat? Instansi pusat adalah kementerian, lembaga nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural. Pada pos-pos inilah anggota Polri dan prajurit TNI boleh ditempatkan," kata Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma) ini. 
     
Namun, lanjut dia, penempatan pada instansi pusat itu pun tidak bisa dilakukan sesuka penguasa. Ada asas kepatutan yang penting diperhatikan. 
     
Ia mencontohkan, KPU dan Bawaslu itu lembaga nonstruktural di tingkat pusat. Tetapi apakah pantas jika Anggota Polri atau Prajurit TNI ditempatkan sebagai Sekretaris Jenderal di lembaga Penyelenggara Pemilu? tentu ini kurang tepat, jelas Said. 
     
Jadi, tambah dia, kalau pada instansi pusat saja ada rambu-rambu etika yang harus diperhatikan oleh Mendagri, apalagi jika mereka ditempatkan pada instansi daerah yang jelas-jelas ditutup pintunya oleh UU ASN. 
     
Instansi daerah itu meliputi perangkat daerah provinsi dan kabupaten/kota yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. 
     
Jadi kalau menduduki jabatan setingkat Sekretaris Daerah atau Sekda saja tidak diperbolehkan oleh UU ASN, apalagi jika anggota Polri atau prajurit TNI ditunjuk sebagai Penjabat Gubernur. 
     
"Itu lebih tidak masuk akal lagi.Oleh sebab itu saya menentang keras penunjukan Perwira Tinggi Polri sebagai Penjabat Gubernur. Hormatilah amanat Reformasi yang menghendaki penghapusan dwi-fungsi ABRI, termasuk dwi-fungsi Polri. Mari cintai institusi Polri dengan mengawalnya di jalan yang benar. Viva Polri yang profesional," kata Said Salahudin. 
     
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyatakan pelantikan Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional Komjen Pol Drs Mochamad Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat, tidak melanggar undang-undang.
     
"Enggak ada apa-apa yang penting tidak melanggar undang-undang. Dulu itu kan orang curiga, belum-belum curiga. Kan enggak mungkin dong saya mengusulkan orang kemudian menjerumuskan Pak Presiden, kan gak mungkin. Saya sesuai aturan dan UU karena nama yang saya usulkan saya kirim kepada Pak Presiden," kata Mendagri Tjahjo Kumolo, di Bandung, Senin.
     
Ditemui usai melantik M Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat di Gedung Merdeka Bandung, Mendagri menuturkan tidak ada pertimbangan khusus terkait dipilihnya M Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat, terlebih latar belakang Iriawan dari kepolisian.
     
"Pertimbangan pejabat TNI/Polri) tidak ada pertimbangan, sama-sama saja. Karena dia (M Iriawan) anak buahnya Pak Gubernur Lemhanas, dia Sestama setingkat eselon satu, saya minta izin," kata dia.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018