Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Muradi menilai fenomena partai politik "membandel" dengan tetap mencalonkan mantan napi korupsi menjadi calon anggota legislatif berkaitan dengan sikap pragmatisme dan keengganan memunculkan figur baru.

"Karena kader yang koruptor tersebut dianggap memiliki peluang untuk memenangkan kursi di parlemen," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Selain itu, menurut Muradi, target lolos ambang batas parlemen membuat parpol tidak berani memunculkan nama caleg baru untuk mengganti caleg berlabel koruptor.

"Apalagi pemilih juga cenderung merasa bahwa figur-figur koruptor yang diajukan oleh partai politik tersebut memiliki kedekatan dan meyakinkan untuk dipilih," katanya.

Hasil survei yang menggambarkan kemungkinan perolehan suara pada Pemilu 2019 juga dianggap mengkhawatirkan bagi parpol.

Baca juga: KPU temukan mantan koruptor mendaftar caleg di Bengkalis

"Tidak heran jika banyak partai kemudian pragmatis menyandingkan caleg artis dan juga figur koruptor yang memiliki potensi keterpilihan yang besar," katanya.

Dari semua parpol yang terdaftar menjadi peserta pemilu, hanya PSI satu-satunya parpol yang tak mencalonkan caleg eks koruptor.

Menurut Muradi hal itu terkait dengan ide partai bersih yang selalu didengungkan oleh partai yang dipimpin Grace Natalie tersebut.

"Tak ada pilihan lain bagi PSI selain menyodorkan nama-nama baru yang `fresh` dan tak pernah jadi napi korupsi," katanya.

Baca juga: KPU Riau temukan lima mantan koruptor dalam daftar caleg

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018