Semarang (ANTARA News) - Peneliti dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa (Lapan) Bandung, Djamaluddin, mengajak semua pihak untuk secara terbuka mengkaji ulang kriteria penentuan kalender Islam agar hari raya dapat bersatu. Ajakan tersebut disampaikan Djamaluddin pada acara seminar dan launching program studi baru, Al-Ihwal Al-Syakhsiyyah (Konsentrasi Ilmu Falak), Fakultas Syari`ah IAIN Walisongo di Semarang, Kamis. Menurut peneliti utama Astronomi dan Astrofisika ini, perbedaan kriteria penentuan awal bulan yang belum bisa disatukan, membuka peluang terjadinya perbedaan Idulfitri 1427 dan 1428 di Indonesia. Ia menambahkan, ada persoalan krusial yang harus dipecahkan, dalam hal ini Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah berperan besar memberikan solusi bersama. Mengenai perbedaaan penentuan awal bulan kamariyah antara metode rukyat (pengamatan) oleh NU dan hisab (perhitungan) oleh Muhammadiyah, sambungnya, secara astronomis mudah dipersatukan, asal ada kerelaan kedua belah pihak untuk maju menuju satu titik temu. Masalah perbedaan yang berlangsung lama ini hingga saat ini belum selesai. Namun, "Alhamdulillah, upaya itu sudah ada solusinya dan kita berharap nantinya menghasilkan kriteria penentuan awal bulan yang disepakati oleh semua pihak," katanya. Upaya terbaru saat ini, katanya, adalah lahirnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 2/2004 tentang wajibnya umat Islam mengikuti keputusan pemerintah dalam hal penentuan awal Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha. Dalam fatwa itu juga ada rekomendasi untuk mengupayakan kriteria penentuan awal bulan yang disepakati dan menjadi acuan bersama. Secara tidak langsung, fatwa itu juga didukung dengan hasil kongres umat Islam Indonesia 2005 yang menyatakan agar MUI menjadi payung pemersatu umat. Upaya tersebut kemudian dilanjutkan dengan pertemuan para wakil ormas Islam dan pakar hisab-rukyat yang difasilitasi Departemen Agama pada Desember 2005, katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007