Kalaupun DSB WTO mengabulkan permintaan otorisasi yang diajukan, masih perlu dibentuk panel untuk menentukan besaran nilai retaliasi ini. Jelas, angka 350 juta dolar AS yang diajukan merupakan angka sepihak yang masih dapat diperdebatkan
Jakarta, (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia menyatakan keberatan dengan langkah Amerika Serikat (AS) yang berupaya mengamankan hak dengan melakukan retaliasi apabila Indonesia dinyatakan gagal memenuhi kewajiban yang direkomendasikan oleh Badan Penyelesian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (DSB WTO).

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan permintaan AS dengan besaran retaliasi sebesar 350 juta dolar AS tersebut masih akan dibahas di DSB WTO yang akan melakukan pertemuan pada 15 Agustus 2018.

"Kalaupun DSB WTO mengabulkan permintaan otorisasi yang diajukan, masih perlu dibentuk panel untuk menentukan besaran nilai retaliasi ini. Jelas, angka 350 juta dolar AS yang diajukan merupakan angka sepihak yang masih dapat diperdebatkan," kata Iman dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Rabu.

Pada 2 Agustus 2018, pemerintah Indonesia menerima salinan surat Perwakilan AS untuk WTO di Jenewa, Swiss, kepada DSB WTO.

Surat tersebut pada intinya meminta otorisasi dari DSB WTO kepada AS untuk menunda pemberian konsesi tarif kepada Indonesia terkait dengan sengketa yang diadukan AS atas kebijakan restriktif yang diterapkan Indonesia dalam importasi produk hortikultura, hewan dan produk hewan.

Sebagaimana diketahui, pada 2015 DSB WTO membentuk panel atas permintaan AS dan Selandia Baru yang memperkarakan kebijakan impor produk hortikultura, serta hewan dan produk hewan yang diterapkan Indonesia.

Total terdapat 18 "measures" yang diadukan oleh AS dan Selandia Baru sebagai inkonsisten dengan komitmen Indonesia di WTO.

Pada 22 Desember 2016, panel sengketa mengumumkan temuannya bahwa 18 "measures" yang diterapkan Indonesia tersebut tidak sejalan dengan prinsip dan disiplin yang disepakati di WTO dan merekomendasikan Indonesia agar melakukan penyesuaian.

Pada 17 Februari 2017 Indonesia mengajukan banding. Namun, pada 22 November 2017 Badan Banding WTO menguatkan rekomendasi dari panel sengketa bahwa Indonesia harus melakukan penyesuaian atas 18 "measures" yang dipermasalahkan.

Melalui pembahasan yang cukup panjang, maka disepakati bahwa Indonesia akan melakukan penyesuaian tahap pertama selambatnya pada 22 Juli 2018 dan tahap kedua pada 22 Juni 2019.

Meskipun langkah-langkah penyesuaian telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, dalam konsultasi para pihak yang berlangsung pada 27 Juli 2018 di Jenewa, AS menyatakan bahwa Indonesia belum cukup melakukan penyesuaian.

Penilaian tersebut didasarkan pada informasi yang diterima Perwakilan AS untuk WTO bahwa eksportir produk hortikultura dari AS masih mengalami kesulitan untuk mengekspor produknya ke Indonesia.

Sementara konsultasi bilateral tetap berjalan, AS menggunakan haknya berdasarkan Pasal 22.2 dari WTO Dispute Settlement Understanding untuk mengamankan haknya guna menunda pemberian konsensi tarif kepada Indonesia apabila Indonesia benar-benar gagal melaksanakan rekomendasi DSB WTO.

Indonesia telah melakukan penyesuaian dengan mengamendemen beberapa Peraturan Menteri Pertanian dan Peraturan Menteri Perdagangan. Langkah itu sejalan dengan rekomendasi DSB WTO.

Dengan kondisi tersebut, pemerintah Indonesia akan meminta pembentukan panel kepatuhan (compliance panel) untuk menilai secara objektif apakah benar Indonesia belum melakukan penyesuaian-penyesuaian yang direkomendasikan oleh DSB WTO.

"Hal tersebut akan kita tempuh, karena sebetulnya pemerintah telah melakukan penyesjuaian sebelum 22 Juli 2018, dan pengusaha produk hortikultura, hewan dan produk hewan dari AS dan negara lainnya dapat mengekspor produk-produknya ke Indonesia," kata Iman.

Untuk menyelesaikan masalah ini tanpa harus melalui langkah retaliasi, pemerintah Indonesia berencana akan melakukan konsultasi dengan AS guna menjelaskan secara lebih rinci langkah-langkah yang telah diambil pemerintah.

Pihak AS telah memberikan indikasi kesediaannya untuk melaksanakan konsultasi bilateral sebelum keputusan final AS diambil apakah akan melakukan retaliasi atau tidak.

Dalam proses litigasi di WTO, aktivasi Pasal 22.2 dari WTO Dispute Settlement Understanding merupakan masalah prosedural agar negara yang merasa dirugikan (complainant) tidak kehilangan haknya bila merasa perlu melaksanakan retaliasi.

Dibanding jumlah kasus yang ditangani oleh Badan Penyelesaian Sengketa WTO selama ini, langkah retaliasi ini jarang ditempuh oleh complainant karena biasanya permasalahan yang ada dapat diselesaikan melalui konsultasi bilateral.

"Tampaknya ada masalah time-lag antara kesimpulan yang diambil oleh Perwakilan AS di WTO dengan kunjungan Menteri Perdagangan Indonesia ke Washington pada 24-27 Juli 2018 lalu, yang antara lain membahas penyelesaian sengketa di WTO ini," katanya.
Baca juga: Sengketa dagang Indonesia-Amerika perlu pendekatan bilateral

Baca juga: RI diotorisasi untuk retaliasi AS dalam kasus rokok kretek


 

Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2018