Jakarta (ANTARA News) - Tim Jaksa Panuntut Umum (JPU) bersikeras bahwa upaya kejaksaan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dalam kasus kematian aktivis HAM Munir dengan termohon Pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto adalah upaya yang tidak melanggar hukum. JPU Poltak Manulang ketika membacakan berkas permohonan PK perkara tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis, menyatakan ketentuan pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan PK hanya dapat diajukan oleh terdakwa dan ahli warisnya tidak bisa dijadikan alasan untuk melarang kejaksaan mengajukan PK. Menurut Poltak, pasal 23 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan PK terhadap putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan itu, katanya, berlaku untuk perkara perdata dan pidana. "Dalam perkara pidana, pihak-pihak adalah Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa," katanya. Selain itu, praktik yurisprudensi yang selama ini berjalan, Mahkamah Agung (MA) telah melakukan penafsiran ekstensif dalam bentuk pertumbuhan atau perluasan makna (growth the meaning) terhadap ketentuan dalam KUHAP. Penafsiran ekstensif itu dilakukan untuk memperoleh penyelesaian perkara yang bisa memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. "Maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melenturkan atau mengembangkan atau melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya," kata Poltak. Pencaraian kebenaran itu antara lain dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada korban tindak pidana untuk mengajukan upaya hukum lebih lanjut. Untuk itu, JPU sebagai pihak yang mewakili korban kolektif maupun individual juga memiliki hak mengajukan upaya hukum. "Jaksa Penuntut Umum pada dasarnya merupakan pihak yang mewakili kepentingan masyarakat secara kolektif maupun individual," katanya. Sementara itu, secara terpisah kuasa hukum Pollycarpus, M Assegaf mengatakan kejaksaan telah merusak tatanan hukum karena bersikeras mengajukan PK yang sudah jelas tidak dimungkinkan oleh pasal 263 ayat 1 KUHAP. Pasal 263 ayat 1 KUHAP mengatur hanya terpidana atau ahli waris terpidana yang bisa mengajukan permintaan PK kepada MA terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. "Kejaksaan telah bertindak terlalu nekat karena melanggar aturan. Saya pikir, kejaksaan perlu mempertimbangkan kembali kenekatannya," tuturnya. Seperti diberitakan, sidang pemeriksaan PK perkara Pollycarpus digelar di PN Jakarta Pusat, dan seterusnya setelah dibuat berita acara, pendapat akan dikirimkan ke MA. MA kemudian akan membentuk Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan mengadili permohonan PK tersebut. Pollycarpus divonis hukuman 14 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Ciciut Sutiarso. Oleh pengadilan tingkat banding, hukuman itu dikuatkan. Namun, Majelis Hakim Kasasi yang diketuai Iskandar Kamil membebaskan Pollycarpus dari dakwaan pembunuhan berencana terhadap Munir. Oleh MA, Pollycarpus hanya dihukum dua tahun penjara karena terbukti menggunakan surat palsu. Atas vonis kasasi MA itu, Kejagung kemudian mengajukan permohonan PK.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007