Jakarta (ANTARA News) - Kuasa hukum Abu Bakar Ba`asyir dari Tim Advokasi Korban Penangkapan Densus 88 akan mengajukan gugatan baru dengan materi berbeda, setelah gugatan pembubaran Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror tidak dikabulkan oleh majelis hakim. "Kami akan ajukan gugatan atas perbuatan melawan hukum," kata anggota Tim Advokasi Korban Penangkapan Densus 88, Ahmad Michdan, setelah sidang penetapan gugatan pembubaran Densus 88 di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa. Dalam sidang penetapan itu, majelis hakim menetapkan surat gugatan pembubaran Densus 88 tidak memenuhi syarat formal gugatan perwakilan kelompok, sehingga gugatan harus dihentikan. Menurut Michdan, perbuatan melawan hukum yang dimaksud adalah kebijakan pemerintah untuk melakukan penangkapan sejumlah orang yang dianggap sebagai teroris tanpa mengindahkan prosedur hukum. "Itu merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa," katanya. Michdan mengatakan rencananya gugatan itu akan berbentuk gugatan perdata biasa dengan materi gugatan berupa ganti rugi dalam bentuk uang. Sedangkan pihak yang akan menjadi penggugat adalah korban penangkapan Densus 88, termasuk Abu Bakar Ba`asyir. Rencananya, gugatan perdata akan diajukan secepat mungkin. "Sebelum bulan puasa tahun ini," kata Michdan, ketika ditanya kapan gugatan akan dilayangkan. Sebelumnya, Tim Advokasi Korban Penangkapan Densus 88 menggugat pasukan antiteror itu karena dianggap telah melanggar pasal 28 UUD 1945 dan melanggar UU Nomor 5 tahun 1998 tentang Antipenyiksaan. "Kita minta Kapolri membubarkan Densus 88," kata salah satu anggota tim, Munarman. Ia menjelaskan pasal 28 i UUD 1945 menyebutkan hak untuk tidak disiksa, baik secara fisik maupun mental, adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non- derogable rights -red). Densus 88, katanya, melakukan pelanggaran karena telah melakukan kekerasan fisik dan mental dalam melakukan penangkapan tersangka terorisme. Densus juga dianggap telah melakukan pelanggaran HAM berat karena telah memenuhi tiga ketegori dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kategori pertama, tindakan Densus dilakukan secara sistematis dan terencana. Kategori kedua, terjadi" penyiksaan" terhadap orang yang dituduh sebagai teroris dan itu dilakukan secara meluas di semua wilayah dari Poso sampai Jakarta. Sedangkan kategori ketiga adalah tindakan Densus ditujukan pada penduduk sipil. "Dari tindakan Densus, setidaknya korbannya sudah mencapai hampir 500 orang sampai sekarang ini (tahun 2001-2007 - red) baik yang diproses dan tidak diproses," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007