Pekanbaru (ANTARA News) - Dinas Kesehatan Provinsi Riau memperkirakan 100 lebih warga Riau memiliki anak yang cacat gara-gara sindrom rubella kongenital (Congenital Rubella Syndrome/CRS) dan terus berupaya mendorong warga menyukseskan program nasional imunisasi campak dan rubella (Measles-Rubella/MR).

"Diperkirakan lebih dari 100 orang ibu di Provinsi Riau memiliki anak dengan CRS," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Mimi Nazir, di Pekanbaru, Rabu.

Sindrom rubela kongenital, menurut siaran di laman resmi Ikatan Dokter Anak Indonesia, adalah kumpulan gejala penyakit yang terdiri dari katarak (kekeruhan lensa mata), penyakit jantung bawaan, gangguan pendengaran, dan keterlambatan perkembangan, termasuk keterlambatan bicara dan disabilitas intelektual.

Sindrom rubela kongenital disebabkan oleh infeksi virus rubela pada janin selama masa kehamilan karena ibu tidak mempunyai kekebalan terhadap virus rubela.

Guna mencegah peningkatan kasus CRS, Mimi mengharapkan dukungan semua pihak untuk menyukseskan program imunisasi MR di Riau, yang sempat terkendala menyusul kontroversi berkenaan dengan kehalalan produk vaksin dari India yang digunakan dalam vaksinasi.

Ia menjelaskan infeksi virus yang bisa mengakibatkan ibu hamil keguguran atau melahirkan anak dalam kondisi cacat pendengaran, penglihatan terganggu, dan kelainan pada jantung tersebut bisa dicegah dengan imunisasi.

Apalagi, ia melanjutkan, "Kalau HIV penularan dari hubungan badan, tapi kalau MR lebih mudah lagi karena dari udara juga bisa menular".

Poppi Morina, penggagas Komunitas Anakku Sayang yang beranggotakan orangtua dengan anak yang hidup dengan CRS, menyebut data anak dengan CRS yang ada sebagai fenomena gunung es, mengatakan kemungkinan data itu hanya berasal dari orangtua yang mau membuka diri.

"Masih banyak orangtua yang menyembunyikan anak-anak mereka yang terdampak rubella, mungkin karena malu," kata Poppi, yang anaknya kehilangan pendengaran karena CRS.

Komunitas Anakku Sayang, ia mengatakan, ingin membantu mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mencegah penyebaran penyakit itu lewat imunisasi MR.

Ia mengaku sedih melihat banyaknya informasi keliru tentang imunisasi MR yang terlanjur berkembang di tengah masyarakat.

"Sehingga masyarakat sudah terbentuk pola pikirnya duluan untuk menolaknya. Dan itu tidak mudah untuk mengubahnya," kata dia.

Capaian imunisasi rendah

Mimi Nazir mengatakan  hingga September imunisasi MR baru mencakup 18,47 persen dari target 1,955 juta anak usia sembilan bulan hingga 15 tahun.

"Capaian Provinsi Riau sampai dengan 8 September 2018 hanya 18,47 persen, masih jauh dari target. Bahkan, Riau berada di urutan dua paling bawah dari capaian provinsi se-Indonesia," katanya.

Sejak imunisasi MR untuk provinsi di luar Jawa dilaksanakan Agustus lalu, Dinas Kesehatan Riau menargetkan cakupan imunisasi bisa sampai 95 persen dari seluruh anak yang menjadi sasaran.

Namun pro dan kontra mengenai kehalalan vaksin MR menghambat pelaksanaan program imunisasi di hampir seluruh kabupaten/kota.

Riau kini hanya berada di atas Provinsi Aceh yang tingkat pencapaian imunisasi MR hanya 6,86 persen. Dari 12 kabupaten/kota di Riau, hanya lima daerah yang pencapaiannya di atas 20 persen dan paling tinggi di Kabupaten Kuantan Singingi sekitar 37,66 persen.

Realiasi imuniasi di Ibukota Provinsi Riau, Kota Pekanbaru, hanya 15,36 persen, dan di Kabupaten Kepulauan Meranti, Siak dan Kota Dumai pencapaiannya masih di bawah 10 persen.

"Memang masih ada pemerintah daerah seperti di Dumai, Indragiri Hilir dan Pekanbaru, masih menunda pelaksanaan kegiatan imunisasi MR," kata Mimi.

Baca juga: Tiga daerah di Kepulauan Riau masih tunda vaksinasi MR
 

Pewarta: Febrianto Budi Anggoro
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018