Oleh Maryati Jakarta (ANTARA News) - Musim kemarau hampir selalu diwarnai dengan kekeringan lahan dan kelangkaan air yang membuat para petani tidak bisa berharap banyak terhadap hasil panen padi mereka. Sejak Juli hingga Agustus 2007 saja ratusan hektare lahan sawah di berbagai wilayah seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat dilaporkan sudah mengalami kekeringan sehingga sebagian besar tanaman padi di kawasan itu puso. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Direktorat Jendral Tanaman Pangan Departemen Pertanian pun menyatakan bahwa hingga 31 Juli 2007 jumlah luasan kekeringan tanaman padi pada musim kering 2007 mencapai 15.386 hektare. Menurut Direktur Perlindungan Tanaman Pangan Departemen Pertanian, Ati Wasiati, dari seluruh luasan sawah yang mengalami kekeringan tersebut 866 hektare di antaranya masuk kategori puso atau gagal panen. Kondisi yang demikian tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara Asia lainnya kekeringan juga selalu membuat petani padi susah karena tidak bisa memanen tanaman padi mereka. Guna mengatasi masalah tersebut para ilmuwan di International Rice Research Institute (IRRI) yang berpusat di Filipina berusaha mengembangkan dan melakukan penelitian mengenai varietas padi yang dapat beradaptasi dengan cekaman kekeringan dan kelangkaan air. Dalam buletin Irrigated Rice Research Consortium (IRRC) "Ripple" edisi Juli-September 2007 Volume 2 Nomor 3 dijelaskan bahwa teknologi untuk memampukan padi tumbuh di lahan kering tanpa genangan air itu disebut dengan sistem padi aerobik. Sistem padi aerobik adalah cara baru menumbuhkan padi dengan lebih sedikit air dibandingkan rata-rata kebutuhan padi dataran rendah. Disebut sistem aerobik karena dalam hal ini padi bisa tumbuh layaknya tanaman dataran tinggi seperti gandum, di tanah yang tak digenangi air atau jenuh oleh air dan karenanya menjadi aerobik atau beroksigen sepanjang musim pertumbuhan. Di negara beriklim sedang seperti China dan Brazil, sistem ini telah berkembang menjadi teknologi matang, luasan area tanaman padi aerobik di kedua negara itu diperkirakan sudah mencapai 80 ribu hektare hingga 250 ribu hektare. China memulai program pembiakan jenis padi aerobik sejak 1980 dan telah menghasilkan varietas padi aerobik dengan menyilangkan varietas padi dataran rendah berproduksi tinggi dengan jenis padi dataran tinggi tradisional di China bagian Utara. Beberapa jenis padi aerobik berkapasitas produksi tinggi yang telah dihasilkan antara lain Han Dao 277, Han Dao 197 dan Han Dao 502 yang diluncurkan akhir 1990 dengan potensi produksi mencapai sekitar 6,5 ton per hektare. Di Brasil, setelah 20 tahun melakukan program pembiakan, mampu menghasilkan varietas padi aerobik yang dengan irigasi "sprinkler" (semprot) produksinya bisa mencapai lima ton hingga tujuh ton padi per hektare. IRRI mulai mengembangkan sistem padi aerobik tahun 2001 melalui metode persilangan. Generasi pertama padi aerobik tropis yang dikembangkan IRRI adalah IR55423-01 (Apo) dan UPLRI-5 dari Filipina, B6144-MR-6-0-0 dari Indonesia dan CT6510-24-1-2 dari Kolumbia. Varietas yang umumnya merupakan hasil persilangan antara padi jenis indica dan tropical japonica itu sudah diujicobakan di beberapa wilayah di Filipina dan Laos. Jika dibandingkan dengan panen yang dihasilkan dari cara penanaman padi tradisional, dengan lahan tergenang yang anaerobik, jenis padi aerobik mempunyai kapasitas produksi lebih banyak dibandingkan rata-rata padi dataran tinggi. Kapasitas produksi padi aerobik mencapai empat ton sampai enam ton padi per hektere dan hal itu dimungkinkan karena meski tumbuh di tanah aerobik namun padi tersebut dipelihara dengan tambahan masukan eksternal seperti irigasi tambahan saat air hujan saja tidak cukup dan pemberian pupuk. Cara penanaman dan pemeliharaan jenis padi aerobik juga sederhana, biasanya sama dengan cara menanam gandum atau jagung yakni dengan metode penyemaian langsung. Sebagaimana kedua tanaman sereal itu, padi aerobik juga bisa dipelihara dengan sistem tadah hujan dengan sedikit tambahan irigasi atau irigasi penuh. Namun demikian, sistem tanam di tanah aerobik memiliki resiko ancaman gulma yang lebih besar jika dibandingkan dengan sistem penanaman padi dengan genangan air. Ancaman gulma tersebut antara lain bisa dikendalikan dengan penggunaan herbisida pada awal dan akhir penanaman. Bila tekanan gulmanya cukup tinggi direkomendasikan melakukan upaya tambahan dengan mekanisasi terhadap gulma pada awal fase pertumbuhan. Masalah lain yang dihadapi dalam penanaman padi aerobik adalah penurunan hasil atau kegagalan panen pada penanaman padi secara berlanjut pada lahan yang sama. Hal ini diperkirakan terjadi akibat serangan penyakit yang menular melalui tanah, jamur, dan nematoda yang umum muncul di lahan tropis. Guna mengantisipasi masalah itu selain melakukan riset lanjutan terkait perbaikan sistem pengelolaan dan pembiakan varietas padi aerobik IRRI juga meneliti pokok masalah yang berhubungan dengan penyebab penurunan produksi dalam sistem penanaman berlanjut, perkembangan varietas yang resisten, alternatif pengelolaan dengan rotasi, dan praktik pengontrolan gulma terpadu. Selanjutnya, dengan prediksi bahwa pada 2025 sejumlah negara asia akan menghadapi kelangkaan air parah, pengembangan padi aerobik diharapkan bisa membantu petani padi yang tidak punya akses terhadap air yang cukup. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007