Jakarta (ANTARA News) - Idelogi dan nasionalisme pers hingga kini masih dipertanyakan, mengingat pemberitaannya yang mayoritas menampilkan konflik lokal masyarakat di berbagai daerah serta kerap menggunakan bahasa asing dalam penyiarannya. "Banyak stasiun radio di Batam menggunakan bahasa China dalam siarannya sehari-hari. Belum lagi soal peristiwa bentrokan lokal di daerah-daerah yang diberitakan berulang-ulang oleh media massa," ungkap Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri (Depdagri) Sudarsono, di Jakarta, Selasa. Berbicara pada diskusi pemantapan nilai kebangsaan dalam kehidupan berdemokrasi yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, ia mengatakan, pemberitaan yang berulang-ulang akan menjadi masalah ketika media massa asing ikut menayangkannya dengan menambahi atau mengaitkan data kejadian masa lalu, seperti berbagai peristiwa peledakan bom di tanah air. "Harus dipertanyakan seperti apa sebetulnya ideologi pers kita sekarang. Semua itu tadi nyambung dengan kebebasan pers yang dinikmati saat ini," ujar Sudarsono. Ia meyakini, dampak "kinerja" kebebasan pers seperti itu berdampak pada pencitraan Indonesia yang akhirnya akan memberikan efek pada kehidupan sosial ekonomi nasional. Sementara itu, rohaniawan Antonius Benny Susetyo menyayangkan cara berpikir seperti itu, apalagi jika masih banyak penjabat pemerintah saat ini yang menganut pemikiran itu. "Jangan sampai cara berpikir seperti itu, menyalahkan kebebasan pers. Justru seharusnya berlanjut dan mengarah pada upaya merevisi Undang-Undang Pokok Pers serta menghapus kebebasan dalam mengontrol jalannya pemerintahan yang sudah ada sekarang," ujar Benny.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007