Respons 'like' itu jadi kepuasan diri yang membuat ketagihan. Padahal sebenarnya bisa jadi kondisi keuangannya pas-pasan
Jakarta (ANTARA News) - Respons di media sosial dalam bentuk "like" bisa semakin membuat ketagihan para selebriti media sosial, kata Kepala Pusat Neurosains Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Rizki Edmi Edison PhD.
   
"Era internet dan berkembangnya media sosial membawa fenomena baru. Banyak orang ketagihan mendapat 'like' di media sosial dan berkorban banyak untuk mendapatkan respons tersebut," kata Rizki Edmi Edison yang juga pakar otak dan saraf dalam wawancara melalui telepon di Jakarta, Jumat.
   
Ia mencontohkan, banyak orang yang sengaja bepergian ke berbagai negara untuk mengunggah fotonya di media sosial seperti Facebook, Instagram dan lainnya atau mencari restoran mahal atau membeli dan mengenakan barang mewah untuk diunggah di media sosial agar mendapatkan "like" jempol atau gambar hati (love). 
   
"Respons 'like' itu jadi kepuasan diri yang membuat ketagihan. Padahal sebenarnya bisa jadi kondisi keuangannya pas-pasan," katanya.
     
Ketika seseorang pertama kali mengunggah foto di media sosial dan mendapat "like" dari lima orang, ujarnya, orang tersebut awalnya akan merasa puas, tetapi setelah beberapa kali unggahan, ia tidak akan lagi merasa puas dan akan mencoba mengganti stimulus (perangsang).
     
Stimulus dalam sisi ini adalah unggahan foto yang diperkirakan akan lebih banyak lagi mengundang perhatian dan meningkatkan jumlah "like".
   
"Namun ketika jumlah like bertambah, tidak lama ia menjadi kurang puas dan terus ingin meningkatkan jumlah like tersebut dengan berbagai cara yang akhirnya menjadi ketagihan," katanya.
   
Rasa puas, tuturnya, terkait dengan organ di otak tengah yakni ventral tegmental area (VTA) yang mengeluarkan hormon dopamin, senyawa yang menghantarkan sinyal rangsangan antarsel saraf.
   
Dopamin yang ditangkap oleh nucleus accumbens di otak depan akan memberikan sensasi puas, ujarnya. 
   
"Namun sensasi puas tersebut seiring berjalannya waktu akan beradaptasi dan jadi terasa biasa saja, sehingga dibutuhkan penggantian stimulus lain yang lebih meningkatkan kepuasan. Begitu seterusnya, kepuasan membuat ketagihan," katanya.
   
Menurut dia, media sosial penting untuk berkomunikasi, namun jika menimbulkan ketagihan sehingga fungsi komunikasinya hilang, maka hasilnya menjadi negatif, dan harus dikendalikan.
   
"Apalagi jika hal itu hanya menghabiskan waktu yang sebenarnya bisa digunakan untuk hal lain yang lebih produktif, ditambah lagi jika sampai melupakan orang-orang yang sedang bicara di hadapannya di dunia riil yang sekarang dikenal sebagai 'phubbing'. Ini justru membuat komunikasi jadi negatif," katanya. 
   
Sebelumnya Rizki Edmi Edison menjadi pembicara soal neurosains mewakili Uhamka di International Conference on Mental Health, Neuroscience and Cyberpsychology (Icometh-NCP 2018) di Universitas Negeri Padang, 14-15 Oktober 2018.

Baca juga: Laki-laki lebih peduli "like" di medsos
 

Pewarta: Dewanti Lestari
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018