Kesurupan, meski kerap terjadi dan "nyata", tetap saja menjadi misteri yang sulit dicerna akal sehat. Jika dulu kesurupan hanya terjadi pada orang per orang, belakangan ini musibah itu kerap bersifat "massal", beranting sampai 40 orang. Korbannya pun juga mulai bergeser, kini kesurupan banyak menimpa para siswa-siswi sekolah. Seperti yang terjadi di sebuah SMA swasta di Bintaro Jakarta akhir pekan lalu. Puluhan siswi kelas satu tiba-tiba pingsan kemudian bangkit dan meronta-ronta sambil mengeluarkan kalimat yang sulit dimengerti. Pihak sekolah sontak menyimpulkan bahwa siswi mereka diganggu makhluk halus. Oleh karena itu, mereka buru-buru meminta bantuan "orang pintar" untuk menyembuhkan mereka. Entah karena faktor kebetulan atau memang mujarab, setelah sang dukun mengusap air "berjampi-jampi", tiba-tiba korban sadar sambil tersipu malu lantaran dikerumuni banyak orang. "Orang pintar" yang mengaku dari "Kulon" itu lantas memberikan "wejangan" bahwa anak-anak itu telah diganggu roh halus. Meski "jampi-jampi orang pintar" terbukti mampu meredakan kesurupan, namun tentu saja itu tak membuktikan bahwa sebab kesurupan adalah karena gangguan mahluk halus. Korban kesurupan sangat jarang didiagnosa secara medis, yang melibatkan psikiater, demi membedah sebab pasti gangguan kesehatan jiwa korban kesurupan. Dukun atau "orang pintar" kenyataanya telah menjadi jalan paling praktis untuk mengatasi orang kesurupan. Dukun pun mendapat legitimasi, karena itu setelah sukses "berpraktek", ia selalu mengurai sebab kesurupan dari sudut dunia mistis dan supranatural. Dengan gaya meyakinkan sang dukun menyimpulkan bahwa anak-anak itu telah diganggu gendruwo, tuyul, kuntilanak, wewe gombel, halimunan atau sundel bolong, yang mendiami sudut sekolah. "Penunggu gedung itu telah diusik, sehingga mereka marah dan merasuki anak-anak," kata sang dukun. Setelah itu, hampir-hampir sudah menjadi prosedur tetap bahwa sang dukun meminta prasyarat untuk mengusir makhluk halus tersebut, seperti penyediaan sesaji berupa ayam jantan berbulu hitam, ketan, gula merah, kain hitam dan tentu saja uang sebagai maharnya. Menyerah Ketika dukun yang sama diminta menyembuhkan seorang perempuan muda berusia sekitar 20 tahun, yang terganggu jiwanya, sang dukun yang selalu komat-kamit membaca mantera yang susah dipahami, tiba-tiba ia mengangkat tangan tanda menyerah. "Bapak sudah berusaha menjinakkan lima jin, cuma yang dua lagi tidak mampu ditaklukkan karena mereka lebih tangguh," tutur sang dukun. Pada saat yang sama seorang dokter di sebuah klinik juga dipanggil untuk melakukan tindakan medis terhadap korban yang sama. Dengan raut muka yang jauh lebih santai dibanding sang dukun, dokter itu memberikan seampul suntikan penenang "Diazepam 10 mg" serta obat anti nyeri karena tangan dan kaki penuh lecet akibat diikat. Tidak lebih dari sepuluh menit kemudian korban tertidur pulas. Ketika dokter menyarankan kepada keluarga untuk dirawat saja di rumah sakit, keluarga korban malah memaki-maki dengan alasan bahwa anaknya tidak gila tetapi diganggu mahluk halus. Kasus serupa sering terjadi lantaran pihak keluarga malu untuk mengobati melalui pendekatan medis, padahal terapi membuktikan bahwa korban telah mengalami stres berat akibat gangguan kejiwaan dan bukan karena gangguan makhluk halus. Ini dibuktikan pada saat korban siuman, ia menceritakan bahwa dalam beberapa hari terakhir ia tidak bisa tidur karena kekasihnya memutuskan hubungan, padahal mereka sudah melakukan tindakan di luar batas-batas berpacaran biasa. Pusat Kajian Bencana Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyingkap masih gamangnya masyarakat terhadap seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan. Orang yang mengalami gangguan kejiwawan selalu dipersamakan dengan "orang gila" yang harus diperlakukan kasar, dipasung atau tidak diperbolehkan melakukan interaksi sosial. Rasa malu yang sering menghantui benak keluarga korban itu, biasanya dimanifestasikan dalam bentuk perilaku di luar nalar. Paling praktis adalah menganggap mereka "sekedar" kerasukan makhluk halus. Mereka pun lantas mengesampingkan tindakan medis yang benar. Padahal dengan cara itu secara tidak sadar, keluarga telah memasung fisik dan hak azasi penderita, hingga menambah beban mental dan penderitaanya. Kondisi sosial kemasyarakatan di Indonesia saat ini, sangat rentan terjadi gangguan kejiwaan, sementara payung hukum untuk melindungi hak-hak pasien sama sekali tidak memadai. Bahkan perlindungan terhadap pasien gangguan kejiwaan, jauh lebih buruk jika dibanding perlindungan hukum terhadap satwa langka. Akibatnya sangat fatal. Korban yang tadinya hanya mengalami gangguan kejiwaan ringan dan mudah disembuhkan, akhirnya dibiarkan berlama-lama dan benar-benar menjadi gila dan harus dirawat di rumah sakit jiwa. Hampir seluruh rumah sakit jiwa di Indonesia terpaksa merawat pasien sampai 10 tahun dan terkadang tidak mengetahui alamat asalnya karena ditinggalkan begitu saja oleh keluarganya. Hasil survai yang dilakukan The Indonesian Psychiatric Epidemiologic Network pada tahun 2004 lalu, diketahui bahwa di 11 kota di Indonesia ditemukan 18,5 persen dari penduduk dewasa menderita gangguan jiwa, sementara data badan kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa saat ini ditemukan 450 Juta penghuni bumi ini menderita penyakit ini. Di sejumlah rumah sakit jiwa, rata-rata pasien sakit jiwa bertambah 10-20 persen per tahun. Banyak sebab, mengapa jumlah pasien penyakit jiwa terus bertambah. "Diantaranya adalah minimnya kesadaran masyarakat untuk merawat penderita kejiwaan di rumah sakit jiwa. Tidak sedikit pula orang berpenyakit jiwa dibuang begitu saja, sehingga muncul fenomena orang gila di setiap sudut kota," kata Rizwar, seorang ahli jiwa. Padahal, menurut dia, sakit jiwa adalah penyakit medis, yang bisa disembuhkan secara medis pula.(*)

Oleh Oleh Miskudin Taufik
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007