Jakarta (ANTARA News) - Rekanan Perum Bulog yang tergabung dalam PT Surya Bumi Manunggal (SBM), Fahmi menyatakan, pihaknya tidak bisa dipersalahkan karena telah menutup kerugian Bulog dalam impor sapi pada 2001 silam dengan diserahkannya sebidang tanah senilai Rp2,9 miliar. "Sebenarnya Bulog tidak mengalami kerugian karena sudah diganti dengan tanah di Cikarang," kata Fahmi ketika bersaksi sidang perkara tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis. SBM bekerjasama dengan Bulog untuk mendatangkan 1000 ekor sapi senilai Rp4,9 miliar dari Australia. Pada akhir Desember 2001, hanya 933 ekor sapi yang bisa didatangkan ke Indonesia dengan nilai jual lebih kecil dari pengeluaran Bulog. Hal itu mengakibatkan Bulog mengalami kerugian sebesar Rp2,3 miliar. Fahmi mengatakan, kekurangan uang itu ditutup dengan bidang tanah miliknya di Cikarang senilai Rp2,9 miliar. Menurut Fahmi, dirinya dan Bulog sama-sama memiliki waktu tiga bulan untuk menjual tanah tersebut. Uang hasil penjualan tanah akan digunakan untuk menutup kerugian Bulog. "Kalau tidak laku, tanah itu menjadi milik Bulog," kata Fahmi. Menanggapi hal itu, Ketua Majelis Hakim Efran Basuning mendesak agar Jaksa Penuntut Umum dan kuasa hukum terdakwa untuk mencari dokumen tanah pengganti kerugian Bulog. Menurut Efran, perkara impor sapi tidak akan berlarut-larut jika kerugian negara sudah dikembalikan. "Tapi yang bersalah harus diproses," katanya. Dalam kasus impor tersebut, Moeffreni dan Fahmi (rekanan Bulog dari PT SBM) divonis lima tahun penjara, denda Rp200 juta subsider enam bulan, dan harus membayar uang pengganti Rp3,3 miliar ditanggung renteng. Sementara itu, rekanan Bulog lainnya, Direktur PT LNP, Maulany Ghany Aziz telah divonis enam tahun penjara, denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti Rp5,079 miliar. Perkara impor sapi itu menyeret Ketua Tim Monitoring Pengadaan Sapi Potong tahun 2001, Tito Pranolo dan empat anggotanya, Imanusafi, A. Nawawi, Ruchiyat Soebandi dan Mika Ramba Kendenan sebagai terdakwa. Tito diancam pidana seumur hidup sebagaimana dakwaan pasal 2 ayat 1 UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana dan dakwaan subsider pasal 3 UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana. Dalam dakwaannya, Jaksa menguraikan, Tito memerintahkan anggota tim monitoring untuk melakukan stok opname dan serah terima jaminan sapi potong dari PT Lintas Nusa Pratama (LNP) dan PT Surya Bumi Manunggal (SBM) serta menerima berita acara stok opname dan berita acara serah terima padahal ketua tim monitoring mengetahui bahwa isi berita acara itu tidak benar. Tito juga disebut menandatangani berita acara penyerahan sapi dari PT SBM dan PT LNP, dimana penyerahan itu dinilai fiktif karena tidak ada penyerahan sapi secara fisik. Tito ditunjuk sebagai Ketua Tim Monitoring tahun 2001 dalam proyek pengadaan daging sapi sehubungan dengan suplai daging dalam menghadapi sejumlah hari raya keagamaan pada tahun 2001. Dalam surat perintah Dirut Bulog, disebutkan tim bertugas melakukan monitor dengan memberlakukan syarat dan prosedur yang harus ditempuh calon rekanan penyedia daging sapi. Dalam pelaksanaannya, Bulog menggandeng perusahaan rekanan yaitu, PT Lintas Nusa Pratama (LNP) dan PT Surya Bumi Manunggal (SBM) yang masing-masing mendapat kontrak Rp5,7 miliar untuk pengadaan 1.183 sapi dan Rp4,9 miliar untuk 1.000 sapi. Disebutkan dalam dakwaan Jaksa, Tito telah membuat kajian yang tidak benar terhadap perusahaan yang mengajukan permohonan yaitu PT SBM dan PT LNP, yang menyatakan dua perusahaan itu seolah-olah telah memenuhi syarat dan prosedur sebagai pihak penyedia sapi potong. Menurut Jaksa, kedua perusahaan itu bergerak di perdagangan umum dan tidak memiliki tempat penggemukan sapi serta tidak berbadan hukum sebagaimana disyaratkan Tim Monitoring.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007