Kenangan masa kecil antara salah seorang pramugari Lion Air JT610, Shintia Melina dan tetangganya, Aisha Sabrina, meninggalkan hal menyenangkan sekaligus menyedihkan.

Aisha sebagai tetangga yang jarak rumahnya hanya berbeda dua rumah dengan Shintia sangat akrab dengan keluarga Shintia meski umur mereka terpaut dua tahun.

"Kami dekat sejak kecil, saat itu aku dan Kak Tia (panggilan Shintia) main sepeda ke luar komplek. Kami menemukan jalan rahasia," ujar Aisha tergelak melalui telepon.

Aisha melanjutkan cerita masa lalunya bersama Shintia dan adiknya, Ani. Meski tak begitu dapat mengingatnya, namun semua kenangan itu masih terasa baru dan indah di benak Aisha.

Aisha yang merantau kuliah ke Universitas Diponegoro, Jawa Tengah, sempat bertemu dengan Shintia ketika pulang kampung dan berbicang ringan dengan Shintia di teras rumah.

Walau sudah jarang bertemu sejak sebelum kecelakaan terjadi, Aisha menjalani masa kecilnya bersama Shintia dan Ani. Mereka juga sering belajar bersama bagaikan saudara kandung sendiri.

Di rumah duka terpasang tenda, kursi, dan dua karangan bunga bertuliskan "Berduka Atas Wafatnya: Shintia Melina 26 tahun". Meski belum pasti meninggal, dua karangan bunga yang teronggok dekat rumahnya seperti mengisyaratkan bahwa Shintia tak selamat mengingat kecelakaan naas itu mengakibatkan badan pesawat hancur dan jatuh ke laut.

"Ani seolah marah dan sedih, dia bertanya, memangnya Kak Tia sudah dinyatakan meninggal? Kenapa ada karangan bunga?" Menurutku dia masih berharap kakaknya hidup," kata Aisha.

Kecelakaan yang menimpa 189 orang itu awalnya didengar Aisha sekelebat saja, "Aku syok saat mendengar kabar pesawat Lion Air yang jatuh, tapi tak kuambil pusing."

Namun, suara tangis terdengar dari rumah sebelah dan diyakini berasal dari Ani.

Begitu mendengar kabar duka, Aisha segera menghubungi teman lainnya untuk menengok kondisi Ani.

Benar saja, Shintia tercatat sebagai pramugari yang bertugas saat pesawat itu jatuh ke Tanjungpakis, Karawang, Jawa Barat, beberapa menit setelah lepas landas dari Bandara Udara Soekarno-Hatta, Banten menuju Bandar Udara Depati Amir, Pangkal Pinang.

Saat ditemui, Ani masih terlihat syok dan menangis, meski begitu raut tegar diperlihatkannya pada teman-temannya yang bersimpati mengunjungi kediamannya ketika mendengar berita kecelakaan Lion Air.

"Aku salut pada Ani, dia masih mau mengobrol meski menangis. Aku tidak tega melihatnya, lalu aku peluk sambil menangis juga," ujar Aisha dengan nada sendu.

Shintia menempuh pendidikan pramugari setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) ke Yogyakarta dari tahun 2011. Sulung dari empat bersaudara itu juga dikenal baik dan pekerja keras sebagai tulang punggung keluarga.

Usia tua membuat badan Ayah Shintia, Melwani, membuatnya sakit-sakitan, sementara Ibu Shintia, Edmidalti, bekerja sebagai guru SMA negeri di salah satu sekolah di Padang.

Setelah mendapati kabar kecelakaan, Edmidalti dan saudaranya berangkat ke Jakarta menuju Rumah Sakit Bhayangkara Tk.I Raden Said Sukanto di Kramat Jati, Jakarta Timur guna memberikan data primer untuk keperluan forensik jenazah.

Meski belum menerima informasi identifikasi jenazah Shintia, keluarganya masih sabar menanti berita baik dari tim Disaster Victim Identification (DVI). "Rumah Kak Tia sempat ramai karena kasus itu, banyak awak media. Kini tenda sudah dicopot," tambah Aisha.




RS Sukanto

Rumah Sakit Polri Sukanto menyediakan fasilitas peristirahatan dan tempat penyembuhan trauma bagi keluarga korban pesawat Lion Air JT610 di Gedung Promoter.

Ratusan keluarga memenuhi ruangan yang luas dan dilengkapi fasilitas televisi, pendingin ruangan, kursi, konsumsi, dan mushola.

Gedung Promoter tersebut diperkirakan mampu menampung keluarga korban karena kapasitasnya cukup besar sehingga bisa ditempati ratusan orang sekaligus.

Kapolsek Kramat Jati Komisaris Polisi Nurdin AR akan menyediakan matras kecil untuk keluarga korban beristirahat. "Kabarnya pihak Lion Air juga menyediakan hotel," ujar Kompol Nurdin.

Petugas yang menangani "trauma healing" dan pendampingan keluarga dari Lion Air tampak sibuk hilir mudik di sekitar gedung promoter.

Seorang pendamping keluarga yang enggan disebutkan namanya tak bersedia diwawancarai, "Maaf, saya tidak mau."

Sementara, Tim DVI telah berhasil mengindentifikasi tujuh korban Lion Air JT610, yakni atas nama Jannatun Cintya Dewi, Candra Kirana, Monni dan Hizkia Jorry Saroinsong, Endang Sri Bagusnita, Wahyu Susilo dan Fauzan Azima.

Berdasarkan keterangan kepolisian, korban Lion Air JT 610 yang berhasil teridentifikasi pada Sabtu, adalah hasil sidang rekonsiliasi pencocokan data post mortem dari jenazah korban yaitu data primer sidik jari, dengan data antortem dari keluarga serta dari pihak lainnya sebagai data sekunder yakni tanda medis dan properti yang dibawa.

Pihak rumah sakit menyerahkan jenazah kepada keluarga korban dan terus melanjutkan proses identifikasi.

Beberapa keluarga korban kecelakaan pesawat yakni Ayah pilot, Bhavve Suneja, mendatangi Rumah Sakit Polri Raden Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur, untuk menyerahkan data antemortem (data fisik khas korban sebelum meninggal) sang pilot dan diambil sampel DNA.

Lelaki berkebangsaan India itu enggan memberikan komentar kepada awak media yang berusaha mengejarnya. Sama halnya dengan keluarga Co-pilot, Harvino yang terdiri isteri dan anaknya segera berjalan meninggalkan rumah sakit setelah memberikan data ante mortem.*


Baca juga: Perginya harapan keluarga dengan rindu tak tersampaikan

Baca juga: Menunggu teridentifikasinya seluruh korban Lion





 

Pewarta: Tessa Qurrata Aini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018